Senin, 24 Januari 2011

BANK SYARI'AH

Prinsip Operasional Bank Syari'ah
oleh : Dianita Kristanti, Abdul Rosyid, Ali Sadikin
MSI-UII.Net - 5/9/2008
Ketiga Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam MSI UII
Pendahuluan
Berdirinya bank Islam/perbankan syari’ah diawali dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hingga awal ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fikih) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam sistem ekonomi dunia yang menggunakan bunga riba.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara garis besar mengenai perbankan Islam terutama di Indonesia, meliputi sejarah, serta konsep-konsep dasar operasional bank syari'ah.
Sejarah dan Perkembangan Bank Islam
Beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 merupakan tonggak sejarah perkembangkan sistem perbankan Islam. Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pada tahun 1967 pengoperasian Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mit Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan pertanda bagi masyarakat muslim bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern.
Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Develoment Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri Negara-negara OKI di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Pada akhir priode 1970-an dan awal periode 1980-an bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.
Dari berbagai laporan tentang bank Islam, ternyata bahwa operasi perbankan Islam dikendalikan oleh tiga prinsip dasar, yaitu (a) dihapuskannya bunga dalam segala bentuk transaksi, (b) dilakukannya segala bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan perusahaan industri, dan (c) memberikan pelayanan sosial yang tercermin dalam penggunaan dana-dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.[1]
Berkembangnya bank-bank syari’ah di Negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an telah banyak diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam, akan tetapi prakarsa untuk mendirikan bank Islam baru dimulai pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan menghasilkan terbentuknya sebuah tim perbankan yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi. Pada tahun 1991 berdiri PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia).
Pada awal pendirian BMI keberadaan bank syari’ah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional, disebabkan landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil, dan tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada era reformasi perkembangan perbankan syari’ah ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplemen-tasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar