Satu nash syari’at atau teks undang-undang kadang-kadang dapat memberiakan pengertian yang bermacam-macam karena dilihat dari jalan-jalan yang di pergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (thuruq-dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi, juga dengan mencari apa yang tersirat di balik susunan kalimat itu, mencari ‘illat yang menjadi sebab di tetapkan suatu hokum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasional. Jalan-jalan tersebut dinamai dalalat al ibarat, dalalat al isyarah, dalalat al dalalah dan dalalat al iqtidha’.
Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan-jalan tersebut merupakan “madlul nash” (hasil penunjukan nash) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib di amalkan isinya. Setiap orang yang dikenakan nash atau undang-undang dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash atau undang-undang dengan jalan mana saja pengertian itu diperoleh.
Pengertian yang di peroleh dari lafadz-lafadz tersebut disebut dilalah yang dapat ditinjau dari bermacam-macam cara (segi). Hingga satu lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan lantaran segi tinjauan yang berbeda-beda.
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang dalalah lafadz dan dalalah bukan lafadz menurut Hanafiyah . Dengan pengetahuan yang kurang memadai penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, saran dan kritik dari pembaca selalu di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terimakasih.
II. Pembahasan
DALALAH LAFAZH DAN DALALAH BUKAN LAFAZH MENURUT HANAFIYYAH
A. Pengertian
Kata Al-Dalalah jama’nya lafazh dalail adalah: Yang berarti Suatu yang bisa untuk di jadikan petunjuk. Menurut bahasa Dalalah adalah kepada maksud tertentu. Dalam ushul fiqih ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjukan suatu lafadz atau petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu.
B. Macam-macam dalalah lafazh menurut hanafiyah
Dalam khazanah literatur ushul fiqih aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalah al-alfazh terhadap hukum dapat di bedakan menjadi empat macam, yaitu dalalah al-‘ibarah, dalalah al- isyarat, dalalah al- nash,dan dalalah al- iqtidha’. Penunjukan nash Al-Qur’an atau hadits terhadap suatu hukum adakalanya dengan medium lafazh dan adakalanya tidak dengan medium lafazh.
1. Dalalah ‘ibarat (petunjuk yang di peroleh dari apa yang tersurat dalam nash). Dalalah ‘ibarat yang juga disebut “Ibarat nash” ialah Penunjukkan lafazh kepada makna yang segera dapat dipahamkan dan makna itu memang di kehendaki oleh siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli maupun tidak. Maksud asli adalah maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli adalah maksud kedua yang juga dapat di ambil dari nash itu. Hal ini akan lebih jelas bila di perhatikan contoh dalam firman Allah:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja.
Dengan memperhatikan ’barat nash (apa yang tersurat dalamm nash) tersebut kita memperoleh tiga Pengertian. Yakni:
a. diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangib. membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan
c. wajib hanya mengawini seorang wanita saja dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Ketiga ma’na (hukum) tersebut disimpulkan berdasarkan ibarat al-nash, karena memang ketiga ma’na (hukum) itulah yang menjadi alasan munculnya perbincangan (siyaq al-kalam) yang terdapat dalam ayat di atas. Dalam arti semua pengertian tersebut ditunjuk oleh lafazh nash secara jelas, akan tetaapi pengertian yang pertama bukan merupakan maksud yang asli , sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli. Sebab ayat tersebut dikemukakan kepada orang-orang yang khawatir berkhianat terhadap hak milik wanita-wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada dua, tiga, atau empat orang saja. Inilah maksud yang asli dari siyaqul kalam, kemudian maksud yang tidak asli ialah tentang bolehnya mengawini wanita yang di senangi.
2. Dalalat al-Isyarat (petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash) Dalalat al-Isyarat atau Isyarat al-Nash adalah penunjukan lafazh atas makna (hukum) yang tidak dikehendaki oleh konteks perbincangan yang ada dalam nash, akan tetapi, makna tersebut menjadi kelaziman/keniscayaan bagi hukum yang di kehendaki oleh kontek perbincangan yang terdapat dalam nash. dengan arti makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan, baik menurut rasio, maupun menurut adat kebiasaan dan baik makna itu jelas maupun samar-samar. Dengan kata lain bahwa dalalat al-isyarat itu ialah dalalah lafazh kepada makna iltizami (tidak dapat dipisahkan) yang tidak dimaksud menurut siyaqul kalam. Misalnya dalam firman Allah SWT:
Dan kewajiban ayah untuk memberikan makan dan pakaian kepada ibu-ibu dengan kebaikan. Ayat ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa nafkah ibu-ibu yang menyusui jika mereka diceraikan di tanggung oleh ayah. Ini adalah ibarah nash dan dipahami dipahami dari situ,bahwa anak itu nasabnya diikutkan ayah bukan ibu, karena huruf ”laam” untuk mengkhususkan.
Mereka menetapkan dari situ kesendirian ayah dengan nafkahnya dan bahwa anak itu menjadi orang Quraisy jika ayahnya orang Quraisy bukan ibunya dan demikian pula ia menjadi sederajat (kufu) bagi perempuan Quraisy mengikuti ayahnya bukan ibunya. adapun makna isyarat nashnya antara lain:
a). Ayah tidak dapat di sertai orang lain dalam menjalankan kewajibannya memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri bukan putra orang lain.
b). Ayah biarpun dalam keadaan melarat, sedang ibunya dala keadaan mampu misalnya, maka putra tersebut tetap dalam tanggungannya.c). Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan bolehmengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya termasuk hartanya juga. Pengertian-pengertian yang demikian ini di istimbatkan dari isyarat nash. Dengan demikian ketentuan hukum itu diperoleh dari isyarat al-Nash, bukan dari ibarat al-Nash.
3. Dalalat al-Dalalah atau Dalalat al-Nash Dalalat al-Nash ialah dalalahnya atas ketetapan hukum hal yang disebut bagi hal yang didiamkan untuk memehami maksud dengan hanya memahami bahasa dan itu ailah yang didiamkan dengan istilah lain dengan qiyas jali (terang), baik maksud yang didiamkan lebih diutamakan dalam hukum daripada yang disebut atau sama dengannya.
Dinamakan dalalat al-Dilalat, adalah karena hukum yang ditetapkannya bukan diambil secara langsung dari madlul lafazh. Oleh karena pemikiran manusia dalam hal ini menjalar dari madlul lafazh kepada ma’na yang lebih umum yang dapat mencakupnya dan mencakup pula yang lain, maka dalalat al-Dalalat ini pada hakikatnya adalah dalalat al-nash. Menjalarnya penikiran ini dapat dapat terjadi pada seseorang ahli bahasa tanpa memerlukan ijtihad atau istinbat. Dan in ilah perbedaan antara dalalat al-dalalah dengan qiyas. Misalnya dalam firman Allah :
Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”....... Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya mengucapkan ”Ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan”Ah” kepada orang tua saja diharamkan, maka memukul dan mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan. Karena itu larangan terhadap terhadap ucapan ”Ah” secara otomatis juga merupakan larangan terhadap segala bentuk ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Sebab ucapan ”Ah” merupakan bentuk yang paling sederhana yang dapat menyakitkan hati, sehingga segala perkataan dan perbuatan yang lebih menyakitkan, tentu lebih di haramkan. Dalalat ini dapat di pahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan istinbat. Dengan demikian, perbedaan antara dilalat al-Nash dengan qiyas ialah, kalau qiyas titik persamaan (illat) antara hukum yang terkandung dalam nash dengan hukum yang tidak terkandung dalam nash hanya bisa diketahui melalui istinbat, sedang dalalat Al-nash hukum itu dapat diketahui tanpa melalui istinbat. Bahkan terkadang dalalah tersebut dapat langsung diketahui dari suatu lafazh, baik oleh orang yang ahli dan yang tidak ahli.
4. Dalalat al-Iqtidha’ atau Iqtidha’ al-Nash Dalalat al-Iqtidha’ penunjukan lafazh kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash, akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafazh atau pengertian yang sesuai. Keharusan untuk menyatakan lafazh atau pengertian yang sesuai itu mengandung tiga macam kegunaan.
a). wajib, agar pengerian nash itu benar adanya. Misalnya sabda rasulullah saw :Diangkat dari ummatku kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksakan orang kepadanya.Mengangkat kesalahan, kelupaan dan paksaan sekali-kali tidak akan terjadi. Karena ketiga-tiganya adalah perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan. Tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu yang dihapus (diangkat) niscaya bukan perbuatannya, tetapi yang lain. Agar nash tersebut memberi pengertian yang benar hendaknya dibubuhkan suatu lafazh dalam rangkaian kalimatnya. Adapun lafazh yang pantas untuk dibubuhkan dalam rangkaian kalimat tersebut adalah lafazh ”itsm” (dosa) atau ”hukm” (hukum) sebelum lafazh ”al-khata”. Sehingga tersusunlah rangkain kalimat :
Diangkat dari ummatku dosa karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.b). wajib, agar pengertian nash itu benar menurut logika. Misalnya firman Allah :
Dan tanyakanlah negri yang kami tadinya berada disitu...........
Adalah tidak dibenarkan maknanya menurut logika. Sekiranya tidak dibubuhkan perkataan ”ahli” (penduduk) sebelum lafazh ”al-qoryah” (negri). Dengan demikian tersusunlah rangkaian kalimat :
Dan tanyakanlah kepada penduduk negri yang kami tadinya berada disitu.c). wajib, agar pengertian nash itu benar (sah) menurut syara’. Misalnya seorang berkata kepada kawannya : ” hadiahkanlah bukumu itu kepada si Ahmad dari saya!” Di sini pembicara memberikan kuasa kepada kawannya untuk menghadiahkan buku kepada si Ahmad. Pemberian hadiah dari orang yang memberikan kuasa itu menurut syara’ dianggap tidak sah, kecuali kalau buku itu sudah menjadi milikya. Apabila orang yang diberi kuasa itu menerima kuasa tersebut, maka hal itu berarti bahwa dia telah menyetujui menjual buku dan memindahkan haknya terhadap buku itu kepada orang yang memberikan kuasa.
C. Macam-macam Dalalah Bukan Lafazh Menurut Hanafiyah Ulama Hanafi membagi dalalah ghoru lafdzhiyah (bukan mengenai kata) menjadi empat bagian dan di namakan bayan dhorurah (penjelasan darurat).
Ke empat bagian ini semuanya adalah dalalah sukut (diam) dan dinamakan lafdziyah karena mengandung pengertian hukum.
1. Tetapnya suatu hukum akibat dari menetapkan suatu hukum yang berdasar lafazh yang disebutkan. Misalnya firman Allah :
Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga....
Ayat tersebut menjelaskan bahwa aayah dan ibu masing-masing sebagai ahli waris dari anak mereka yang meninggal dunia. Bagian ibu dari harta pusaka anaknya ditetapkan berdasarkan lafazh ayat tersebut, yaitu sepertiga harta peninggalan anaknya itu. Oleh karena bagian ibu sudah diketahui berdasarkan lafazh yang disebutkan, yakni sepertiga, maka bagian ayah dapat ditetapkan, yakni dua pertiga harta peninggalan, sekalipun bagian ayah ini tidak disebutkan dalam ayat ini. Bagian ayah ini dapat diketahui akibat dari ditetapannya bagian ibu dalam ayat itu, yakni sepertiga harta peninggalan. Padahal orang yang mewarisi dalam peristiwa yang disebutkan dalam ayat itu hanya dua orang saja, yaitu ayah dan ibu.
2. Keadaan Rasulullah saw. Tidak menjelaskan hukum dalam suatu peristiwa yang kalau sekiranya beliau menghendaki hukum yang berlainan dari hukum yang disebutkannya itu tentu dijelaskannya. Misalnya diamnya Rasulullah saw. Perihal tidak diserukan adzan dan iqamat pada shalat ’id, tidak dikeluarkan zakat sayur mayur, padahal tanaman itu banyak ditanam di sekitar Madinah dan diamnya Rasulullah saw. Atas tindakan para sahabat yang menikmati masakan daging dhob (sejenis biawak yang hidup yang hidup di padang pasir) dalam salah satu jamuan makan. Diamnya Nabi itu menunjukkan bahwa shalat ’id itu tidak menggunakan adzan dan iqamat, sayur mayur itu tidak wajib dizakati dan daging binatang dhobb (biawak) itu halal dimakan. Sebab andai kata Nabi tidak membenarkan hal itu niscaya beliau menyatakan yang lain atau mengadakan reaksi terhadap kejadian yang dilakukan oleh para sahabat itu. berdasarkan ini maka pendiaman Rasulullah saw dianggap bagian dari sunnah seperti perkataan dan perbuatannya. termasuk bagian ini ialah diamnya anak gadis jika ditanyai oleh walinya atau utusan yang dikirim kepadanya untuk mengawinkannya dengan seseorang tertentu sedang gadis itu diam. Hal ini menunjukkan keridhaan, karena dalalah keadaan.
3. Diamnya seseorang yang dianggap sebagai dalalah lafazh untuk menghindari penipuan atau menolak penyiksaan terhadap orang lain. Misalnya diamnya seorang wali terhadap tindakan anak yang berada di bawah perwaliannya dalam menjual barang, maka tindakan itu dianggap sebagai perizinan dari walinya untuk menjualnya. Sebab kalau hal itu tidak dianggap suatu perizinan tentu akan mendatangkan kerugian atau menimbulkan penipuan terhadap pembelinya. Demikian juga diamnya tuan pemilik budak ketika melihat hamba sahayanya merusakkan harta milik orang lain, adalah menjadi petunjuk bahwa ia sebagai pemilik budak harus bertanggung jawab atas barang yang dirusakkan oleh hambanya.
4. Tidak disebutkan suatu kalimat dalam pembicaraan karena seseorang sudah terbiasa membuangnya untuk meringkaskan pembicaraan. Misalnya bila seseorang mengatakan, ”seribu lima ratus rupiah” maka maksudnya adalah seribu rupiah dan lima ratus rupiah. Sekiranya perkataan rupiah setelah perkataan seribu itu disebutkan akan memperpanjang kalimat dan sia-sia sajalah menyebutkannya.
Yang jelas bahwa dalalah dalam keadaan-keadaan ini bukanlah semata-mata karena diam, akan tetapi karena qorinah-qorinah yang melingkungi diamnya itu. D. Tingkatan Dalalah
Kuat dan lemahnya dalalah lafazh (dalalat al-Nash) adalah menurut urutansebagaimana disebutkan di atas. Yakni dalalat ibarat lebih kuat dari pada dalalat isyarat, dalalah isyarat lebih kuat dari pada dalalat al-dalalat, dalalat al-Dalalat lebih kuat dari pada dalalat iqtidha’. Ini berarti bila terjadi perlawanan antara dalalah-dalalah itu, maka madlul dari dalalah ibaratharus didahulukan pengamalannya dari pada madlul dari dalalah isyarat, madlul dari dalalat isyarat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat al-Dalalat dan madlul dari dalalat al-Dalalat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat iqtidha’. Sebagai contoh didahulukan madlul dari dalalat ’ibarat dari pada madlul dalalat isyarat seperti sabda Rasulullah saw. :
Minimal waktu haidh itu adalah tiga hari dan maksimalnya adalah sepuluh hari.Madlul dari dalalat ’barat hadis tersebut adalah mengenai minimal waktu haidh bagi seorang perempuan, yaitu tiga hari dan maksimalnya sepuluh hari.
Kemudian dalam jawaban beliau atas pertanyaan seorang sahabat mengapa wanita itu dianggap oleh agama sebagai orang yang kurang lengkap agamanya, beliau mengatakan:
Salah seorang dari kaum wanita melewatkan separoh umurnya untuk tidak puasa dan tidak shalat. Madlul dari dalalat isyarat dari jawaban rasulullah tersebut ialah bahwa maksimal waktu haidh bagi seorang wanita itu adalah lima belas hari, yaitu separoh dari tiga puluh hari.
Sesuai denagan tertib penggunaan madlul sebagaimana diterangkan di atas, yaitu Madlul dari dalalah ’ibarat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat isyarat, maka maksimal waktu haidh itu ialah sepuluh hari.
Contoh mendahulukan madlul dari dalalat isyarat dari pada madlul dari dalalat al-Dalalat, jika keduanya saling berlawanan, ialah firman Allah:Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam yang kekal ia di dalamnya..........
Madlul dari dalalt ’ibarat ayat tersebut ialah perihal balasan orang yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja itu ialah kekal berada di neraka. Sedang madlul dari dalalat isyaratnya ialah ia tidak diharuskan membayar kaffarat. Sebab keabadiannya dia seorang kafir. Padahal orang kafir itu tidak diterima kaffaratnya..
Kemudian dalam firman Allah :Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman............
Madlul dari dalalat al-Dalalat dalam ayat di atas adalah seorang yang membunuh seorang mu’min dengan tidak sengaja hendaklah membayar kaffarat, yaitu dengan memerdekakan seorang budak yang beriman. Madlul yang demikian ini diporoleh dari hasil mengqiyaskan (qiyasul-aula) dengan madlul dalalat ’ibaratnya. Sebab jika seorang yang membunuh karena salah saja (dalalah ibarat ayat 92) sudah dikenakan membayar kaffarat, apalagi orang yang membunuh dengan sengaja, niscaya lebih dari itu.
Dengan demikian sesuai dengan penertiban penggunaan madlul dalalat sebagaimana dikemukakan oleh ulama’ Hanafiyah itu, maka madlul yang diperoleh dari dalalat isyarat harus didahulukan dari pada madlul yang diperoleh dari Dalalat al-Dilalat. Jadi, orang yang membunuh dengan sengaja, tidak wajib membayar kaffarat. Demikianlah seterusnya.
III. Penutup
Kesimpulan :
Dalam khazanah literatur ushul fiqh aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalat al-alfazh terhadap hukum dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : dilalat al-’ibarat, dilalat al-isyarat, dilalat al-nash, dan dilalat al- iqtidha’. Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan-jalan tersebut merupakan madlul nash (hasil penunjukan nash) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya. Untuk menetapkan suatu makna atau hukum di samping mempergunakan dalalah lafdzhiyah ’ala ma’na juga menggunakan dalalah-dalalah lain yang pengambilannya bukanlah dari suatu lafazh atau suatu ibarat nash, akan tetapi,dari dalil-dalil yang tidak disebutkan yang diketahuinya berdasarkan qarinah-qarinah. Dalalah yang semacam ini dapat juga dipergunakan untuk menetapkan suatu makna atau hukum, dalalah tersebut dinamakan dalalah bukan lafazh, dan juga ada empat bagian. Sedangkan tingkatan-tingkatan dalah adalah : Dalalah ’ibarat, Dalalah isyarat, Dalalah nash dan Dalalah iqtidha’.
Daftar pustaka :
• Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008
• Muhammad, Al-Khudhari, Biek, Ushul Fiqh, Pekalongan : Raja Murah Pekalongan, 1982
• Mukhtar, Yahya, Fathur, Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1983• Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta ; Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2006
• Kamus Al-Munjid fi al-lughah wal-’Ilam, Bairut : Darul Masyriq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar