Kamis, 20 Januari 2011

CERPEN




6 TAHUN SUDAH BERLALU


Dunia dipenuhi dengan hiasan,
semua dan segala yang ada akan kembali kepadaNya.
Bila waktu telah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti, teman sejati tinggallah sepi. (Opic)

Hari berganti minggu, bulan berganti tahun, tahun berganti angka-angka tanpa terasa telah kita lewati. Mungkin benar kata orang bijak “orang yang hari ini sama dengan hari kemarin merekalah orang yang rugi” dan “orang yang hari ini lebih baik dari pada hari kemarin merekalah orang-orang yang beruntung”, kita menyadari mungkin kita juga termasuk orang yang rugi, namun kesempatan selalu ada untuk menjadi orang-orang beruntung! Ikuti cerita berikut ini...
            Aku anak keempat dari empat bersaudara, ibuku seorang wanita karir yang saban hari selalu pergi ke kantor untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang karyawan. Ayahku seorang pengusaha yang saban hari sibuk dengan proyeknya tapi beliau tidak pernah lupa perhatian kepada anaknya yang bersifat materi. Kedua orang tuaku mereka orang yang berpendidikan meskipun hanya menyandang sarjana.
            Semua saudara-saudariku bisa dikatakan telah berhasil, saudaraku yang pertama telah menjadi seorang polisi, yang kedua seorang dokter dan yang ketiga seorang PNS. Maka perhatian kedua orang tuaku semuanya terlimpah untukku khusunya dari segi meterial. Aku selalu membanggakan kedua orang tuaku dan saudara-saudariku yang telah berhasil, aku selalu terbuai dengan keberhasilan mereka sehingga aku lupa dengan nasibku ke depan.
            Aku dilahirkan dari keluarga yang bisa dikatakan lumayan, sejak aku kecil sampai remaja mungkin aku belum merasakan kekurangan, apapun yang aku butuhkan kedua orang tuaku dan saudaraku selalu memenuhinya. Kalau dibandingkan dengan anak-anak yang lain mungkin aku lebih. Aku selalu dimanjakan dalam keluarga, kedua orang tuaku sangat menyayangiku sampai-sampai aku lupa segalanya.
            Akan tetapi tahun silih berganti, kemewahan, kecukupan, kemanjaan yang dulu aku rasakan sekarang telah berubah, mungkin Allah telah berkehendak lain. Tepatnya tanggal 26 Desember 2004 Allah memberikan cobaan yang Maha dahsyat yaitu gempa dan gelombang tsunami yang sangat luar biasa. Maka pada saat itulah aku merasakan kehilangan, kehilangan semuanya, kehilangan kedua orang tuaku yang selalu memanjakanku dan selalu memenuhi kebutuhanku. Kehilangan rumah yang bagi aku itu merupakan istana yang mewah, kehilangan kenderaan yang bagi aku itu merupakan kaki untuk berjalan, kehilangan semua saudara-saudariku yang dulu mereka pernah jadi teman tawaku, teman curhatku dan teman mainku.
            Mungkin pembaca bisa merasakan bagaimanakah nasibku sekarang, sekarang aku hidup bagaikan dibui, badan hidup terasa mati. Semua yang ku punya telah hilang, hilang diterjang gempa dan badai tsunami. Sekarang aku hidup sendiri semua keluargaku telah pergi tanpa meninggalkan pesan untukku, tapi hanya meninggalkan kesan-kesan yang sulit aku lupakan.
            Sebagaimana masyarakat lainnya, aku juga ikut mengungsi ke salah satu tempat pengungsian. Di sana aku baru sadar, kalau aku sekarang bukanlah anak manja, bukan lagi anak mama dan juga bukan lagi anak papa, tapi aku seorang anak manusia yang seperti mereka yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Akan tetapi sangat sulit bagiku untuk menjalankan kehidupan seperti ini, yang dulu aku selalu merasakan kesenangan, selalu makan enak, selalu pakek baju baru, tiap hari naik kendaraan, selalu ada uang disaku, selalu disanjung-sanjung oleh kawan, tapi sekarang aku sudah sama seperti mereka.
            Hari demi hari kulewati kehidupan di barak biarpun penuh dengan kepedihan, penderitaan aku mencoba untuk menjalaninya. Sangat sulit bagi aku untuk melupakan kesenangan masa yang silam, tapi apa hendak dikata semua sudah menjadi kenangan-kenangan yang tak mungkin terulang lagi. Aku yakin Allah selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya, mungkin dengan cara inilah aku bisa hidup mandiri dan bisa merasakan arti kehidupan dan sekaligus bisa menjadikan hidup lebih berguna.
            Sebulan kemudian datanglah paman aku (adek bapak) ke tempat yang sekarang aku tinggal, barak yang penuh dengan penderitaan tapi telah mengajarkan arti hidup kebersamaan dan telah membuat aku mengerti akan siapa diriku ini. Paman yang sudah dari dulu mencari kabar tentang keluargaku akhirnya Allah mempertemukan kami. Tanpa banyak bertanya, akhirnya paman membawa aku tinggal bersama keluarganya, paman yang berbeda profesi dengan bapak, bapakku seorang pengusaha yang selalu dihormati oleh orang kerena penghasilannya, kerena tempat tinggalnya dan juga karena mobil yang beliau punya. Akan tetapi berbeda dengan paman, paman dihormati oleh orang karena ilmunya, imannya, dan juga karena kabaikannya. Paman berprofesi sebagai ustad ngaji dan dan juga imam meunasah (tungku imum) di tempat paman menetap.
            Sekarang aku pun tinggal bersama paman yang hidupnya serba sederhana tapi tak pernah kekurangan, tidak seperti bapak aku yang selalu kekurangan uang sehingga lupa kepada sang pencipta. Mungkin susah bagi aku untuk menjalankan tradisi kehidupan paman yang fanatik terhadap agama, tapi aku yakin ini adalah salah satu jalan untuk aku agar bisa menjadikan hidup lebih bermakna. Paman selalu menyuruhku shalat lima waktu yang dulu terasa asing dalam keluargaku, kedua orang tuaku jarang menyuruhku untuk melakukan shalat lima waktu, paman juga selalu menyuruhku ikut pengajian Al-qur’an di balai yang paman pimpin. Terus terang aku kurang bisa membaca Al-qur’an, padahal umurku hampir mencapai dua puluh tahun, mungkin semasa hidup kedua orang tuaku jarang menyuruhku untuk ikut pengajian.
            Sekarang kehidupanku sudah berubah seratus delapan puluh derajat, yang mana aku dulu dikenal anak yang manja, anak yang punya banyak uang, dan anak yang hidup penuh dengan kemewahan dari hasil pendapatan orang tuaku. Tapi sekarang aku dikenal anak yang mandiri, hidup dengan penuh kesederhanaan dan penuh dengan kesabaran. Allah telah membuka pintu hatiku untuk mengenal diri sendiri dan menyadarkanmku bahwa hidup ini adalah perantauan, karena suatu saat kita pasti akan kembali ketempat yang kekal selama-lamanya yaitu hari akhirat.
            Semasa kedua orang tua dan saudara-saudaraku masih hidup mungkin kami keluarga yang lebih dari segi materi, akan tetapi kurang dan sangat-sangat kurang tentang pemahaman agama, sehingga aku betul-betul buta dengan pemahaman agama. Sekarang aku baru menyadarinya, harta, benda tidaklah menjaminkan kebahagian kita, malah bila kita salah kaprah dalam menggunakannya niscaya dia akan membawa celaka, dan apalagi yang mendapatkannya dengan cara yang tidak diridhai oleh Allah maka itu sungguh sangat celaka.
            Sekarang aku sudah terbiasa dengan tradisi kehidupan paman yang sangat sederhana, sabar, pema’af, pemurah, harmonis dan tawadhu. Aku sudah melupakan kehidupanku yang serba mewah tetapi tidak berkah itu. Pernah aku berfikir, andaikata paman seperti ayahku sungguh lengkaplah kehidupanku, namun itu hanyalah angan-angan belaka yang tidak lagi mungkin terjadi.
            Paman pernah  mengajarkan aku sebuah Firman Allah yang sampai sekarang masih bersarang di benakku, “Kullu Nasfin Zaikatul Maut  tiap-tiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Aku sadar bahwa harta tidaklah menjaminkan kita bahagia di akhirat akan tetapi taqwa kepada Allahlah yang menjaminkan kita di hari akhirat.
            Paman juga mengingatkan sebuah sabda Rasululullah Saw, yang artinya “Barang siapa yang memikirkan kepentingan dunia seolah-olah dia akan hidup selamanya, akan tetapi barang siapa yang memikirkan akhiratnya seolah-olah dia akan mati esok pagi”. Pembaca yang budiman coba anda renungkan mungkin hadist ini menjadi rujukan bagi anda untuk menjadikan hidup ini lebih bermakna.
            Kini aku merasakan indahnya hidup kesederhanaan dan perhatian yang berbasis keagamaan, jauh dari segala kemewahan, dan ketenaran yang bersifat kenistaan. Hidup ini memang indah andaikata hidup ini dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah meskipun kita hidup dalam kekurangan, akan tetapi hidup ini terasa susah andaikata hidup ini jauh dari sang pencipta meskipun kita penuh dengan kemewahan. Saya yakin dan percaya kalau kita ingat kepada Allah, Allah pasti akan mengingat kita, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
            Saudara/i pembaca, penulis berpesan kepada anda, bahwa hidup adalah sementara tidaklah selama-lamanya, hidup ini singkat, gunakanlah waktu singkat itu untuk hal-hal yang berguna, anda pasti akan merasakan hidup lebih bermakna. Ingat saudara/i pembaca penyesalan selalu datang terlambat. Sebelum terlambat gunakanlah waktu hidup menjadi lebih berguna. Moga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin...

Peukan Bada, 26  Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar