Kamis, 20 Januari 2011

CORAK PEMIKIRAN NURKHALIS MAJID


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nurcholish Majid, yang populer dipanggil Cak Nur, ia merupakan salah seorang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Beliau adalah sosok yang cukup kontroversial di Indonesia. Sejumlah orang mengkritik, bahkan menghujat pemikiran-pemikiran keislamannya yang dijalin dalam tiga tema besar, yakni keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Namun tidak sedikit pula yang memuji, mengagumi, dan mengikuti pemikiran-pemikirannya tersebut.
Menurut Greg Barton, keberadaan Nurchalish Madjid dalam wilayah pemikiran keagamaan di Indonesia saat ini, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya, secara umum ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda.[1]
1
 
Permasalahan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia berjalan seiring dengan perjalanan waktu, begitu juga halnya dengan pendidikan.[2] Investasi SDM lewat jalur pendidikan masih sangat dibutuhkan bangsa ini dalam rangka mengejar ketertinggalannya. Terjadinya kesenjangan di Indonesia karena pendidikan tidak bermutu dan berkembang. Kegelisahan akan pembangunan pendidikan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya itu, sehingga membuat Nurchalis Majid berinisiatif mendirikan Universitas Paramadina tahun 1998. Kampus ini dicanangkan sebagai ladang persamaian kader manusia baru.
Cak Nur juga menaruh perhatian yang besar pada pendidikan pesantren, disamping ia sendiri merupakan produk pesantren, pendidikan pesantren pada kenyataannya justru memiliki peluang strategis dalam upaya mengembangkan pendidikan Islam ke depan. Cak Nur dengan sangat kritis memberikan tanggapan dan pendapatnya, berkaitan dengan upaya penyelesaian beberapa problem pendidikan pada pesantren. Untuk itu dalam pembahasan makalah ini penulis mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai pemikiran Nurchalish Majid khususnya berkaitan dengan pendidikan pada pesantren.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
  1. Bagaimana corak pemikiran Nurchalish Majid?
  2. Bagaimanakah pemikiran Nurchalish Majid terhadap Pendidikan pada pesantren?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana corak pemikiran Nurchalish Majid.
2.      Untuk menjelaskan pemikiran Nurchalish Majid terhadap pendidikan pada pesantren.









BAB II
PEMBAHASAN
  
A.    Biografi Nurchalis Majid
a. Riwayat Pendidikan Nurchalis Majid
Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1939 di Jombang, Jawa Timur. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat pada pagi hari, sedangkan sorenya ia sekolah di Madrasah Ibtidayah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan ibtidayah, Ia melanjutkan belajar ke pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang.  Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) pesantren Darussalm di Gontor, Ponorogo.[3]
Setamat dari Gontor, ia menempuh studi kesarjanaan pada Institut Agama Islam kini Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968, dengan skripsi berjudul “Al-Qur’an Secara Bahasa adalah Bahasa Arab, Secara Makna adalah Universal”. Selanjutnya ia menjalani studi doktoralnya dalam bidang Pemikiran Islam di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat, selesai tahun 1984, dengan disertasi berjudul “Ibnu Taimiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam”.
3
 
Cak Nur menghembuskan nafas terakhir pada hari senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan, Akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.[4]

b. Pekerjaan Nurchalish Majid

  • Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
  • Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
  • Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
  • Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005
  • Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
  • Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
  • Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
  • Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
  • Anggota Komnas HAM, 1993-2005
  • Profesor Tamu, Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991–1992
  • Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
  • Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
  • Penerima Cultural Award ICM, 1995
  • Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
  • Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998

c. Karya-Karya Nurchalis Majid

  • The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view dalam Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
  • “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
  • “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
  • Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
  • Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
  • Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
  • Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993)
  • Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta, Paramdina, 1994)
  • Islam, Agama Kemanusiaan, (Jakarta, Paramadina, 1995)
  • Islam, Agama Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1995)
  • “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences” dalam Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
  • Dialog Keterbukaan, (Jakarta, Paradima, 1997)
  • Cendekiawan dan Religious Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999)
  • Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina,--)

d. Kegiatan Internasional Nurchalis Majid

  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria
  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
  • Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
  • Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
  • Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
  • Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
  • Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
  • Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
  • Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
  • Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
  • Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
  • Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
  • Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
  • Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
  • Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania.[5]

B. Corak Pemikiran Nurchalis Majid

                    Ditulis dalam buku ”Islam Liberal” Nurchalis Majid merupakan tokoh Islam Liberal atau Liberalisasi Islam paling terkemuka di Indonesia. Ia juga mempelopori gerakan sekularisasi sejak tahun 1970, dalam acara halal bi halal di Jakarta yang dihadiri oleh para aktivis penerus Masyumi yaitu HMI, PII, GPI dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), Nurchalis Majid menyampaikan makalahnya yang berjudul ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integrasi Umat.” Makalah tersebut sempat menggegerkan aktivis Islam saat itu. Karena di situ ia mengajak ke arah sekularisasi dan liberalisasi pemikiran Islam. Ia memperkenalkan ide sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan sekularisme.[6]  Selain itu ia juga memperkenalkan konsep yang menimbulkan kontroversi di kalangan umat muslim yaitu ”Islam Yes, Partai Islam No”.[7]
Sejak meluncurkan gagasan ”sekularisasai” pada januari 1970 tersebut, Nurchalis dijuluki sebagai ”penarik gerbong” kaum pembaru oleh majalah TEMPO. Setelah bergulirnya ide sekularisasi tersebut maka terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang menyusul, sulit dikendalikan hingga kini. Budhy Munawar-Rachman mengelompokkan Nurchalis Majid ke dalam golongan ”neomodernis Islam”.[8] Pada tahun 1968, Nurchalis Majid juga menulis sebuah artikel ”Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”.[9]
Nurchalis Majid melalui gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan destruktifisasi Islam.[10] Beliau dipandang berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya.



C. Pemikiran Nurchalis Majid Terhadap Pendidikan Pada Pesantren
Gagasan dan pemikiran Nurchalis Majid bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradabannya. Dari berbagai pemikirannya dapat ditelusuri gagasan dan konsepnya yang berkaitan dengan pendidikan. Disini penulis akan melihat pemikiran dan gagasan Nurchalis Majid dalam bidang pendidikan khususnya dalam pembaruan pesantren.
Pentingnya pendidikan ini diungkapkan oleh Ramayulis dalam pernyataannya, “Seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peran yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha untuk mentransfer dan mentransformasikan pengetahuan serta menginternalisasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Demikian pula peran pendidikan Islam dikalangan umat Islam merupakan salah satu bentuk manipestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestrarikan, mentrasformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi penerusnya, sehingga cultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-ke waktu.[11] Menurut Nurchalish, pendidikan adalah penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti luhur dan kecakapan yang tinggi.[12]
Berkaitan dengan pendidikan Islam, Nurchalis mengemukakan dua program yaitu: pertama, pendidikan agama dengan tujuan mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkatannya. Pendidikan ini mendorong munculnya para produsen (melalui kepemimpinan keagamaan). Oleh karena itu harus mendalam dan meluas, sebab kesempitan paham keagamaan seorang tokoh “produsen” tidak saja menyalahi asas keagamaan itu sendiri, tetapi menjerumuskan para konsumen yaitu masyarakat. Karena itu pendidikan agama untuk kelompok ini harus disertai dengan kemampuan melakukan kajian kritis dalam kemestian kajian akademik mengikuti falsafah ijtihad sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW. Kedua, pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban, yaitu kewajiban setiap orang mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya; sebagai seorang pemeluk. Berkaitan dengan uraian ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: apa yang membuat seseorang menjadi pemeluk yang baik, sehingga mampu mewujudkan tuntutan ajaran agamanya dalam hidup nyata di dunia dan memberinya kebahagiaan di dunia itu sendiri dan di akhirat kelak.[13]
Keberadaan Nurcholis Madjid di Pesantren Gontor[14] memberikan inspirasi padanya mengenai modernisme. Di Gontor, pluralisme cukup terjaga, para santri boleh memilih NU atau Muhammadiyah. Jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor pada saat Nurchalis nyantri di akhir 1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Dan jika dilihat dari ukuran saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori Gontor sangat revolusioner. Kurikulum Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik  dengan gaya modern Barat, yang diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya.[15]
Gagasan pendidikan Nurchalis memang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya sebagai pembaru atau tepatnya sebagai lokomotif mazhab neo-modernisme Islam di Indonesia. Hanya saja tema-tema pemikiran tentang pendidikan tidak cukup banyak diangkat Nurchalis. Karya Nurchalish yang membincangkan pendidikan secara khusus adalah Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan dan sementara gagasannya yang lain terserak dalam bentuk artikel, maupun kata pengantar yang diberikan beliau atas karya penulis lain tentang pendidikan. Oleh karena itu menurut penulis, mungkin gagasan Nurchalish Madjid tentang pendidikan tak terbatas dalam cakrawala intelektualnya.
Pembaruan pesantren dalam peranannya sebagai wadah pendidikan yang tetap menjaga nilai-nilai budaya, pesantren yang tidak hanya mengajarkan pendidikan saja tetapi adanya bimbingan moral dihadapkan pada gelombang modernisasi dimana tantangan yang semakin nyata ini tidak berasal hanya dari barat saja tetapi juga para modernis islam baik di Indonesia dan seluruh dunia.
Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia telah memberikan andil besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Pada masa-masa lalu pesantren merupakan Bank SDM yang sangat handal. Dari Pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki tempat yang khusus di hati masyarakat. Hal ini boleh jadi karena tiga hal: 1) karena pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di tanah air. Usia pesantren hampir sama dengan usia datangnya Islam itu sendiri ke Indonesia, 2) pesantren mewakili, bahkan identik dengan makna Islam itu sendiri, 3) pesantren, seperti sering dikemukakan para pengamat, bersifat asli (khas) Nusantra yang tidak ditemukan padanannya di tempat-tempat lain, termasuk di Timur Tengah.
Akibat Globalisasi, perubahan yang dimaksud di sini bukan berarti pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga disertai dengan mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai lama karena perubahan bukan berarti harus meghilangkan atau menggusur nilai-nilai lama pesantren yang justru pada akhirnya akan menghilangkan hakekat dari pada pesantren itu sendiri. Perubahan yang dimaksud adalah pesantren harus terbuka dengan segala berubahan, tidak ekskluif.
Konsep pendidikan yang hanya memandang terhadap salah satu aspek saja, seperti peningkatan cara berfikir atau kualitas otak semata-mata sebagai fokus perhatian untuk menuju terhadap peningkatan SDM. Jika demikian maka tidak heran, jika hasil pendidikan kita memang telah banyak melahirkan manusia-manusia yang intelektual namun tidak berakhlak; pendidikan kita telah banyak memproduksi manusia-manusia yang pintar tapi sayang amat sedikit yang benar. Atas dasar inilah maka Cak Nur mengatakan pendidikan tidak hanya terbatas pada upaya pengembangan kemampuan intelektual, namun juga harus diimbangi dengan pembinaan aspek afektif yang notabene berbasis pada pengembangan kepribadian.[16]
Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren seperti dalam budaya membaca, yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
Gagasan Nurchalish tentang upaya menumbuhkan etos membaca pada masyarakat muslim. Untuk tujuan ini, ia menekankan perlunya fasilitas membaca bagi umat berupa perpustakaan-perpustakan. Atas dasar ini, selanjutnya ia mengusulkan agar masjid-masjid dilengkapi dengan perpustakaan dengan simpanan buku-buku atau kitab-kitab yang bakal dapat memperkaya pembendaharaan keilmuan kaum muslimin. Menurutnya, kemampuan membaca merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kemajuan suatu bangsa, maka etos membaca harus terus ditumbuhkan, salah satunya dengan ide perlunya perpustakaan mesjid. Mesjid menurutnya dapat menjadi pusat kampanye tradisi membaca yang kuat ditopang oleh etos Islam bahwa perintah Allah yang pertama adalah membaca.[17]  
Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik meskipun ada sebagian yang buruk apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman atas persoalan hidup dan weltanschauung.[18]
 Dengan tidak meninggalkan ciri khas keislaman, pesantren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara kreatif, inovatif, dan transformatif yang mendorong aktivifas intelektual dalarn konformitas.[19] Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.
Strategi yang perlu diperhatikan menurut Nurchalish, antara lain: Pertama, mempelajari al-Qur‘an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitik-beratkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang dikandung di dalamnya. Kedua, melalui pertolongan sebuah bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya. Dan Ketiga, selain itu baik sekali kalau bisa memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan-pandangan keagamaannya.[20]
Pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup peserta didik, kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dalam hal ini harus ada tersedia jurusan-jurusan alternatif sesuai dengan potensi dan bakat anak didik. Di sini Nurchalish menegaskan konklusi dari tujuan pendidikan pesantren, yaitu untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Ia menandaskan bahwa produk pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan abad sekarang).[21]
Selanjutnya dengan pola keseimbangan di atas, pendidikan Islam sesungguhnya dapat menghindar dari masalah dikotomi, terutama yang tampak dari hasil pendidikan Islam selama ini. Sintesa antara kedua dimensi tadi dapat menyelaraskan antara pengembangan aspek intelektual dan kemantapan moral-spiritual, semangat keilmuan dan etos beramal, iman dan ilmu, hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, dan pada akhirnya, akan membentuk keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi dibawah naungan Allah (mardlatillah). Sungguh, menurut penulis, inilah sesungguhnya tujuan, sekaligus arah dan strategi pendidikan Islam yang diinginkan Nurchalish dengan gagasan-gagasannya itu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka berikut ini dapat penulis paparkan beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:     
1.      Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur merupakan salah seorang putra bangsa yang lahir pada 17 Maret 1939 dan meninggal pada 29 Agustus 2005. Ia telah banyak melahirkan karyanya sebagai seorang pemikir Islam, cendikiawan dan budayawan Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika karyanya sebagai pencerahan bagi dunia Islam, namun tidak sedikit juga yang kontra dengannya.
2.      Corak pemikiran Nurchalis Majid bersifat modern dengan tetap mengacu kepada nilai-nila dasar ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
3.      Bahwa gagasan pemikirannya terhadap pembaruan pesanteren antara lain: Untuk mengikuti perkembangan modern dengan kreatif dan inovatif serta tidak meninggalkan ciri khas keislaman; Dalam rangka mewujudkan etos membaca maka perlu ditingkatkan fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana yang memadai; Memperhatikan strategi yaitu: Pertama, mempelajari al-Qur‘an dengan menitik-beratkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang dikandung di dalamnya. Kedua, melalui pertolongan sebuah bacaan atau buku pegangan. Ketiga, bisa memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan-pandangan keagamaannya.





DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005.                      
Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras, 2009.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Kahinah, 2001.

http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, di akses pada tanggal 22 Oktober 2010.

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurchalish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999.

M. Dahlan Y. Al-Barri dan Lia Sopyan Yaqub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual Surabaya: Target Press, 2003.

Nurkhalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: galang Press, 2002.

_______________, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

_______________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1998.

_______________, “Pengantar” dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999.

_______________, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum” dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Basri (Ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Moderen, Ponorogo: Gontor Press, 1996.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Syamsul Kurniawan, “Pluralisme Cak Nur dan Bangsa Indonesia”, dalam SKH Pontianak Post, 21 Mei 2007.



[1] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurchalish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 71.
[2] Membincangkan pendidikan berarti membicarakan masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri. Lihat. Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras, 2009, hal. 1.


[3] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hal. 323-324.

[4] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Perss, 2007, hal. 74.


[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, di akses pada tanggal 22 Oktober 2010.


[6] Menurut Nurchalis majid sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dan ada kesediaan mental untuk selalu menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, yang menjadi sifat kaum muslimin.

[7] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal..., hal. 63.

[8] Kaum “neomodernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan intelektual Islam. Bahkan jika mungkin, mencari akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri. lihat tulisan Budhy Munawar-Rachman ”Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah Pemikiran Neomodernisme Islam di Indonesia”. Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Perss, 2007, hal. 66.

[9] Modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Westernisme yang dimaksud ialah suatu total way of life, dimana faktor paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1998, hal. 18.

[10] Di antaranya adalah soal pluralisme agama. Wacana pluralisme yang sering disebut-sebut Nurchalish, bahkan sampai hari ini masih memunculkan debat kusir yang tak kunjung usai. Pangetahuan yang tidak lengkap (lack of knowledge) yang menjadi penyebab paham pluralisme bagi sebagian kelompok masih dipandang dari sisi teoritis-konseptual semata. Maka wacana yang berkembang kurang melihat realitas yang berimbas pada paham pluralisme itu sendiri. Pluralisme dari segi positifnya jelas menawarkan adanya “toleransi yang tinggi” pada setiap umat beragama. Masing-masing mereka akan menghormati agama lain. Pluralisme agama pada akhirnya memberikan nilai-nilai positifnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), hak dan kebebasan beragama. Inilai salah satu pesan yang hendak disampaikan Cak Nur semasa hidupnya, yaitu gagasan dan cita-cita pluralisme yang mengandaikan dunia yang adil dan ramah tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Syamsul Kurniawan, “Pluralisme Cak Nur dan Bangsa Indonesia”, dalam SKH Pontianak Post, 21 Mei 2007.
[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal. 132
[12]Nurchalish Madjid, “Pengantar” dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hal. 5
[13] Nurchalish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum” dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Basri (Ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 40-41.
[14]Pondok Pesantren Gontor didirikan oleh tiga orang, yakni KH Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fannani, dan KH Imam Zarkasyi. Dua tokoh pertama dikenal sebagai pendidik, sedangkan yang terakhir Imam Zarkasyi dikenal sebagai tokoh intelektual yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan intelektualisme pondok. Lihat Panitia Penulisan Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Moderen, Ponorogo: Gontor Press, 1996, hal. 49.
[15]Nurkhalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur Yogyakarta: galang Press, 2002, hal. 78.

[16] Nurchalish Madjid, “Pengantar” dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi ..., hal. 6.

[17] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan...,  hal. 331.

[18] Weltanschauung adalah konsepsi yang meliputi banyak hal mengenai dunia, terutama dari sudut tertentu atau dapat pula berarti pandangan dunia. M. Dahlan Y. Al-Barri dan Lia Sopyan Yaqub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Surabaya: Target Press, 2003, hal. 820.

[19] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Kahinah, 2001, hal. 13.

[20] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan..., hal. 327.

[21] Nurchalis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan Jakarta Paramadina, 1997, hal. 18.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar