Senin, 24 Januari 2011

HADITS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah dan bahkan sampai saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai orang Islam, tetapi mereka menolak hadis atau sunnah Rasululllah sebagai ajaran Islam. Mereka dikenal dengan orang-orang yang berfaham inkarus-sunnah.[1] Padahal kita mengetahui bahwa Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alqur`an.[2]
Sedangkan cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mematuhi dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad, utusan Allah SWT dan salah satunya sebagaimana tertera dalam al-Quran surah Ali Imran ayat: 32 berikut ini:
ö@è% (#qãè‹ÏÛr& ©!$# š^qß™§9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä† tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya:
Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
Menurut penjelasan ulama, ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk al-Quran, sedang bentuk ketaatan kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunnah atau hadis beliau.[3]
Dari ayat tersebut diatas dan beberapa ayat yang lain baik dari al-Quran dan Hadis yang tidak semua penulis cantumkan, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran Islam disamping al-Quran. Dan orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran.[4]
Sebagai sumber hukum kedua setelah Alqur`an, senantiasa menarik dan penting untuk dikaji, untuk itu penelitian hadis baik dari segi matan maupun dari segi sanadnya sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kehujjahannya (landasan syari`ah) serta dapat tidaknya dipertanggungjawabkan keotentikannya dari Nabi.[5]
Perlunya penelitian matan hadis tidak karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan matan dikenal dengan adanya periwayatan secara makna (riwayat bi al-makna).[6]
Penelitan matan hadis yang diriwayatkan secara makna dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan semantic, rasio, sejarah, dan perinsip-perinsip pokok ajaran Islam. oleh sebab itu, ke-Shahihan matan hadis yang dilakukan tidak hanya dilihat dari sisi bahasa saja, tetapi juga dari sisi yang mengacu kepada Tekstual dan Kontekstual.
Dengan adanya periwayatan secara makna menyebabkan terjadinya pebedaan lafadz pada berbagai matan hadis yang semakna. Hal ini menuntut dilakukannya perbandingan-perbandingan (muqaranah) untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan yang berpengaruh pada kedudukan matan hadis yang bersangkutan. Dan untuk mengetahui Apakah terdapat zaidah, Idraj ataupun lainnya yang dapat berpengaruh pada kedudukan matan hadis yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
Dalam Penelitian Metode Perbandingan dalam Kajian Matan Hadis dalam rumusan masalah makalah tersebut, penulis membagi dalam pembahasan matan hadis antara satu matan dengan matan lain sebagai berikut:
1. Bagaimana Metode Perbandingan dalam Perbedaan Lafadz ?
2. Bagaimana Metode yang ditempuh Para Muhaddisin (Ulama Hadis) ketika mendapatkan dua Hadis yang berbeda ?
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian “Metode Perbandingan dalam Kajian Matan Hadis”
Pengertian kata “Metode” menurut Suparlan Suhartono adalah suatu proses yang sistematik berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin untuk suatu tujuan.[7] Dan menurut John M.Echols dan Hassan Shadily, kata “Metode” merupakan serapan dari bahasa Inggris “Method” yang berarti cara atau proses.[8]
Sedangkan metode perbandingan dalam istilah Kajian Ilmu Hadis adalah dirasah al-Mu`ardhah atau al-Muqaranah.[9] Dengan pengertian bahwa motode tersebut adalah metode yang digunakan para ulama kritikus hadis dalam melakukan tolok-ukur sebagai kritik matan hadis dengan membandingkan antara satu matan dengan matan yang lain baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.[10]
Dan kata matan atau al-Matn menurut bahasa berarti ma shluba wa irtafa`a min al-ardhi (tanah yang meninggi).[11]
Secara terminologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafadz hadis itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhaana misalnya disebutkan bahwa matan itu ialah ujung atau tujuan sanad (gayah as-sanad). Dari definisi ini memberikan pengertian kepada kita bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad itulah yang disebut matan hadis[12].
Pada definisi lain, seperti dikatakan oleh Ibn al-Jama`ah disebutkan bahwa matan ialah:
ما ينتهى إليه السند من الكلام
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
Sedangkan ath-Thibi mendefinisikannya dengan istilah:
ألفاظ الحديث التي تقوم بها معانيه
“Lafdz-lafadz Hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”
Kalimat “ujung sanad”, “tempat berakhirnya sanad”, atau ”lafadz-lafadz hadis didalamnya mengandung makna-makna tertentu”. Sedangkan Kata “Hadis” dari segi bahasa artinya baru, lawan dari lampau ataupun kabar, adapun menurut istilah ahli Hadis yaitu kabar yang berisi ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat atau kebenaran yang orang katakan dari Nabi saw.[13]
Dari berbagai definisi tersebut menunjukkan kepada pemahaman yang sama yaitu: bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafadz hadis itu sendiri yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelumnya ra`wi atau mudawwin.[14]
II. Metode Perbandingan dalam Kajian Matan Hadis
a. Metode perbandingan dalam perbedaan lafadz
Metode perbandingan dalam perbedaan Lafadz pada berbagai matan hadis yang semakna menjadi hal yang penting untuk dilakukan pengkajian sebagai upaya mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keasliannya yang berasal dari Rasulullah SAW. Karena antara sanad dan matan tidak mesti ada hubungannya, yakni; kalau sanad sudah shah, tidak mesti matannya turut shah dan begitu juga kalau sanad dha`if tidak mesti matannya pun turut dha`if.[15]
Dan pada sisi lain dari metode ini akan dapat diketahui kemungkinan-kemungkinan adanya Idraj, Idhtirab, Qalb (Maqlub) Tashrif au Tahrif, Ziadah dan lain-lainnya yang dapat mempengaruhi kedudukan matan hadis yang mengandung Syadz (Kejanggalan) atau Illat (cacat).
Dan pengertian dari pada istilah-istilah yang diatas adalah sebagai berikut:[16]
1. Mudraj
a) Pengertian Mudraj
Mudraj secara bahasa merupakan bentuk Ism Marfu` dari kata fi`il Adraja yang berarti menyisipkan sesuatu terhadap sesuatu atau memasukkannya atau menghimpunnya.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis adalah memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat kedalam satu matan hadis yang diriwayatkannya tanpa memisahkan antara hadis dan ucapan periwayat tersebut. Sehingga menimbulkan kebingungan bagi orang yang tidak mengetahui keadaaan yang sebenarnya dan menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari periwayat pertama (Nabi saw).
Secara umum Idraj pada matan merupakan penafsiran ataupun keterangan dari sebagian lafadz-lafadz yang gharib (asing) dari bagian matan hadis Nabi, hingga para pendengar mengetahuinya. Kebanyakan sebab terjadinya percampuran dari bahasa a`ajam (pasaran) yang menjadikannya tidak mengetahui arti-arti dari lafadz-lafadz hadis Nabi. Maka perawi berupaya untuk memberi pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam lafadz yang dimaksud.
Menurut Nuruddin I`tr kebanyakan Idraj pada matan merupakan penafsiran atau keterangan kandungan hukum untuk kata-kata atau pernyataan dari bagian matan tertentu yang dikemukakan oleh periwayat tertentu penafsiran atau keterangan itu lalu dianggap sebagai bagian dari matan hadis oleh periwayat lainnya.
Kemudian para Ulama membagi Mudraj pada dua bagian, yaitu Mudraj al-Isnad dan Mudraj al-Mutan. Namun penulis hanya membatasi pembahasannya pada pembahasan Mudraj al-Matan.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim yang dimaksud dengan Mudraj al-Matan adalah, sebagian perawi telah memasukkan perkataannya dalam hadis Rasulullah saw. Baik itu pada awal hadis, pertengahan ataupun terakhir. Sehingga menimbulkan dugaan para pendengar bahwa itu adalah bagian dari hadis Nabi.
Dengan demikian Mudraj al-Matan dapat dibagi pada tiga macam:[17]
1. a. Mudraj pada awal hadis
Contohnya hadis tentang wudhu`:
ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار”
“Diriwayatkan oleh al-Khatib, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhu`mu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu`)
Kata-kata أسبغوا الوضوء pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut seakan-akan dari perkataan Nabi.
Periwayat hadis tersebut ialah al-Khatib yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.
Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:
عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار”
“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu`)
(H.R al-Bukhari)
b. Mudraj pada pertengahan hadis
Contoh Mudraj pada pertengahan hadis:
Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:
حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”
Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus.. yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”
وهو التعبد kata-kata ini adalah Mudraj yang telah ditafsirkna oleh al-Zuhry yang disertakan dalam hadis yang merupakan penafsiran dari kata yatahannast”
1. c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;
عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.
Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.
Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Mudraj dari perkataan Abu Hurairah.[18]
c) Hukum Hadis Mudraj dan Idraj
Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakkukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.
Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.[19]
2. Mudtharib atau Idhtirab
a) Pengertian
Kata Mudhtarib merupakan Ism Fa`il dari kata Idhtaraba, yang berarti Ikhtilaf (Perbedaan).
Dan asal kata dari Idhtaraba dari dharaba yang artinya (memukul). Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis adalah yang telah diriwayatkan atas bentuk-bentuk yang berbeda, posisinya sama-sama menginginkan keshahihan hadis, yang akibatnya tidak ada yang kuat dan tidak mungkin terjadi perpaduan antara keduanya.
Terjadinya Mutharib sudah barang tentu adanya perbedaan dalam riwayat-riwayatnya, dalam dua syarat:
1. Keinginan untuk menyamakan kekuatan hadis sehingga tidak ada yang dapat dipegang, dan jika ia memperkuat dengan adanya dalil maka hukum itu berubah menjadi kuat.
2. Kemungkinan untuk memadukan antara kedua hadis, sehingga jika perbedaan itu hilang maka hilang pulalah Idhtirab itu.
Jika salah satu syarat diatas dari dua syarat itu tidak ada dalam sebuah hadis maka dengan demikian idhtirab itu hilang dalam satu hadis.[20]
Idhtirab dalam ilmu hadis terbagi menjadi dua yaitu; Idthirab yang terjadi pada sanad dan idhtirab yang terjadi pada matan.
Contoh-Nya:
ما رواه الترميذي موقوفا من حديث فاطمة بنت قيس (أن في المال لحقا الزكاة) وأخرجه ابن ماجه بلفظ (ليس في المال حق سوي الزكاة)
Diriwayatkan at-Tirmidzi bersumber dari Aswad bin Amir dan Muhammad bin Thufail keduanya ini mengambil dari Syarik dari Abi Hamzah dari Sya`bi dari Fatimah. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari hadis Yahya bin Adam bersumber dari Syarik dari Hamzah dari Sya`bi dari Fatimah.
Jika dilihat dari dua perbedaan hadis diatas semuanya bersumber dari sumber yang sama. Al-Iraqy berpendapat kedua hadis tersebut terjadi Idhthirab yang keduanya tidak memberi (mengandung) penakwilan. Akan tetapi as-Sayuthi berkomentar tentang periwayat syarik bahwa dia adalah dhaif dalam riwayatnya, jika bukan hanya dasar terjadinya Idthirab dari dua hadis akan tetapi juga sanadnya yang dhaif.[21]
b) Hukum Hadis Mudtharib
Hukum hadis Mutharib tidak selamanya dhaif akan tetapi boleh jadi shahih, sebagaimana As-Sharkasy berpendapat: qalb (maqlub), syadz dan Idthirab juga dapat digolongkan Shahih dan Hasan.[22]
3. Qalb (Maqlub)
a) Pengertian
Maqlub adalah Ism Marfu` dari kata Qalaba yang berarti perubahan sesuatu dari bentuknya.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis periwayat menggantikan sesuatu dengan yang lain. Mengganti periwayat atau isnad yang lain dari segi sanad. Adapun dari matan mengganti matan asli yang sudah masyhur (terkenal) dari yang tidak masyhur secara sengaja ataukah secara ceroboh.[23] Maqlub juga terjadi pada sanad dan matan.
Contohnya: yang terjadi pada matan, dimana mendahulukan kata yang tempatnya berada dibelakang.
ما رواه مسلم من حديث أبي هريرة رضي الله عنه في السبعة الذين يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل إلا ظله … وفيه رجل تصدق بصدقة فأخفاها حتي لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
Apa yang telah diriwayatkan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ra ada tujuh golongan orang-orang yang berada dibawah naungan Allah swt. Dimana pada hari itu tidak ada yang dapat menaungi kecuali dibawah naungan-Nya. Diantaranya seseorang yang bersedekah dengan sebuah sedekah yang tersembunyi sampai tangan kirinya tidak mengetahui bahwa apa yang sedang dinafkahkan oleh tangan kanannya.
فقد روي مقلوبا (حتي لا تعلم يمينه ما تنفق شماله)
Riwayat Maqlub (sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dsedang dinafkahkan tangan kirinya).[24]
b) Hukum Hadis maqlub
Qalb (Maqlub) adalah haram dan tidak sedikit dosa diperbuat orang yang melakukan demikian dan hadis Maqlub wajib ditolak.[25]
4. Ziyadah
a) Pengertian
Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedangkan periwayat yang lain tidak mengemukakannya.[26]
b) Macam-macam Ziyadah
Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima
3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain ynag tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.[27]
Adapun metode yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan lafadz pada berbagai matan hadis yang semakna, maka metode Muqaranah (perbandingan) menjadi penting untuk dilakukan, karena metode tersebut tidak hanya ditujukan pada lafadz-lafadz matan saja, tetapi juga kepada masing-masing sanadnya. Dengan menempuh metode ini, maka akan dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafadz pada matan masih dapat ditoleransi atau tidak. Dan tidak hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada saja, tetapi juga sebagai upaya mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah.[28]
Pada sisi lain dengan metode Muaqaran akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyadah (tambahan), Idraj (Sisipan) dan lain-lain yang dapat berpengaruh pada kedudukan matan yang bersangkutan, khususnya dalam kehujjahannya.[29]
1. b. Metode yang ditempuh Para Muhaddisin ketika mendapati dua Hadis yang bertentangan
Ulama Hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus diselesaikan, sehingga hilanglah pertentangan itu, tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadis yang bertentangan masing-masing harus diamalkan. Untuk itu, dia menekankan perlunya penggunaan metode istitsna` (pengecualian) dalam penyelesaian itu. Syihabuddin al-Qarafi (w.684 H) dengan menempuh cara al-Tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argument yang terkuat), walaupun dengan cara ini, penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan al-Nasikh wa al-Mansukh (yakni hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-Jam`u (yakni mengkompromikan, hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing).[30]
Berbeda dengan kedua ulama diatas, Syafi`I (w. 204 H/820 M) menempuh cara al-Jam`u kemudian al-Nasikh wa al-Mansukh. Sementara al-Tahawani menempuh cara al-Nasikh wa al-mansukh, kemudian al-tarjih. Sedangkan Salahuddin Ahmad al-Adlabi menempuh cara al-Jam`u, kemudian al-Tarjih. Ibnu al-Shalah (w. 643), Fasih al-Harawi (w. 837) dan lain-lain menempuh cara: 1) al-Jam`u 2). Ajl-Nasikh wa al-Mansukh dan 3). Al-Tarjih. Sedangkan Muhammad Adib Shalih menempuh cara: 1). Al-Jam`u 2). Al-Tarjih 3). Al-Nasikh wa al-Mansukh. Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain menempuh empat tahap yakni: 1). Al-Jam`u 2). Al-Nasikh wa al-Mansukh 3). Al-Tarjih dan 4). Al-Tauqif (menuggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya.[31]
Dari berbagai metode penyelesaian yang cenderung ditempuh oleh kalangan ulama dengan melihat kemungkianan masalah yang harus diselesaikan, tampaknya tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani lebih akomodatif, dinyatakan demikian karena dalam peraktik penelitian matan, keempat tahap atau cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. Dan dengan menempuh cara al-Tauqif, setelah tidak dapat menyelesaikan dengan tiga cara sebelumnya (al-Jam`u, alNasikh wa al-mansukh dan al-Tarjih) pada penelitian hadis tertentu, seorang peneliti akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan yang salah.[32]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian tentang metode perbandingan dalam kajian matan Hadis, Penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa metode perbandingan (Muqaranah) ialah merupakan metode yang digunakan para Muhaddisin atau orang-orang yang menekuni Ilmu Hadis dalam mengkaji Matan Hadis dengan membandingkan antara satu matan dengan matan yang lain baik dari degi lafadz maupun dari segi maknanya.
2. Melalui metode perbandingan tersebut akan dapat diketahui ada tidaknya perbedaan lafadz dalam matan hadis yang diperbandingkan, ataukah terdapat Idraj, Idthirab dan lain-lainnya.
3. Dengan menggunakan metode Perbandingan maka kita dapat melihat beberapa metode yang harus dipakai dalam membandingkan hadis, yaitu al-Jam`u bainahuma, dengan mengkompromikan diantara dua hadis yang berbeda. Kemudian metode selanjutnya mengambil isnad yang paling sahih diatara dua hadis yang berbeda, jika keduanya sama kesahihannya dalam isnad, maka langkah selanjutnya mengambil Primise ekstren yaitu al-Qur`an dan seterusnya sampai pada metode yang terakhir yaitu Metode Tawaqquf atau Tauqif dengan mencari petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, M.Ag, Dr., Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Pro. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I, Renaisan, Jakarta: 2005)
Hassan, A.Qadir, “Ilmu Mushthalah Hadits”, (Cet. VIII, C.V. Diponegoro; Bandung, 2002)
________, “Ilmu Mushthalah Hadits”, (Cet. VIII, C.V. Diponegoro; Bandung, 2002)
Ismail, M.Syhuhudi, Dr., Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Ilmu Sejarah, (Cet. I, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1995)
________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I, Jakarta; Bulan Bintang 1992)
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Cet. XXIV; Jakarta: PT. Raja Gramedia, 2000)
Moh. Bakry, Muhiddin, Metode Perbandingan Dalam Kajian Matan Hadis, (Makalah disajikan dalam seminar Ulumul Hadis, Pasca sarjana IAIN Alauddin; Makassar, 2006)
Ranuwijaya, Utang, Drs. MA, Ilmu Hadis dan Sejarah Pembukuannya, (Cet. III, Gaya Media Pratama; Jakarta 1998)
Suhartono, Suprlan, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Ujung Pandang: PPS Universitas Hasanuddin, 1998)
Umar Hasyim, Ahmad, Dr., Taisir Musthalah al-hadis, (Literatur pada perkulihan al-Azhar University)
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995)
________________________________________
(*) Makalah diperesentasikan pada forum diskusi kelas Materi Ulumul Hadis dengan Dosen Pemandu Prof.Dr.H.Muhammadiyah Amin dan Dr.H. Arifuddin Ahmad, M.Ag
[1] Dr.M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I, Jakarta; Bulan Bintang 1992), h. 8
[2] M.Syhuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Ilmu Sejarah, (Cet. I, Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1995), h. 3
[3] Dr.M.Syuhudi Ismail, Loc. Cit. dan Lihat asy-Syaukani, Fath al-Qadir Juz I (Bairut; Dar al-Fikr, 1393 H/ 1973 M), h. 333
[4] Ibid. h. 9
[5] Muhiddin Moh. Bakry, Metode Perbandingan Dalam Kajian Matan Hadis, (Makalah disajikan dalam seminar Ulumul Hadis, Pasca sarjana IAIN Alauddin; Makassar, 2006), h. 2
[6] Ibid,
[7] Suprlan Suhartono, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Ujung Pandang: PPS Universitas Hasanuddin, 1998) h. 42
[8] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Cet. XXIV; Jakarta: PT. Raja Gramedia, 2000), h. 379
[9] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), h. 128
[10] Muhiddin Moh. Loc. Cit.
[11] Drs. Utang Ranuwijaya, MA, Ilmu Hadis dan Sejarah Pembukuannya, (Cet. III, Gaya Media Pratama; Jakarta 1998) h. 94
[12] Drs. Utang Ranuwijaya, MA, Op. Cit… h. 95
[13] A.Qadir Hassan, “Ilmu Mushthalah Hadits”, (Cet. VIII, C.V. Diponegoro; Bandung, 2002) h. 17
[14] Drs. Utang Ranuwijaya, Loc. Cit.
[15]A.Qadir Hassan, Op. Cit…h. 375
[16] Dr. Ahmad Umar Hasyim, Taisir Musthalah al-hadis, (Literatur pada perkulihan al-Azhar University) h. 121 – 122.
[17] Ibid.
[18] Dr. Musfir Azmyllah Ad-Dhaminy. Op cit… h. 139
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Dr. Musfir Azmyllah Ad-dhaminy. Op. Cit…h. 141
[22] Ibid.,
[23] Muhiddin Moh. Bakry, Op. Cit… h. 16
[24] Sa`ad sa`ad Jawaish Op. Cit…. h. 95
[25] Ibid.
[26] Dr. Musfir Azmyllah Ad-Dhaminy. Op. Cit… h. 155
[27] Dr. Musfir Azmyllah Ad-Dhaminy. Op. Cit… h. 156
[28] Dr. Arifuddin Ahmad, M.Ag, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaharuan Pro. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I, Renaisan, Jakarta: 2005) h. 124
[29] Ibid, h. 125
[30] Ibid., h. 126
[31] Ibid., h. 127
[32] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar