Minggu, 13 Februari 2011

TASAWUF


Dalam pergerakannya, tasawuf merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sejajar dengan ilmu pengetahuan lain. Tasawuf lebih banyak berbicara persoalan bagaimana manusia mampu menembus dan menangkap ilmu pengetahuan langsung dari sumbernya yakni dari Tuhan, dan tasawuf juga lebih banyak berbicara tentang kesalehan, etika (akhlak) dan bagaimana manusia bisa berhubungan secara intens atau bisa berhubungan secara langsung dengan sang khaliq (Tuhan).
Pada abad ketiga dan keempat tasawuf sebagai bentuk atau pola keberagamaan umat Islam, mengalami kejayaan dan kemajuan yang sangat signifikan. Dalam hal ini bisa kita lihat yang semula pemikiran tasawuf di dominasi pola pikir tekstual, dalam hal ini yang melekat di kalangan kaum sunni (tasawuf sunni) pola pikir tersebut mulai terkikis, dan pola pikir tasawuf mulai condong pada pola pikir yang berbau filsafat, dalam hal ini melahirkan faham tasawuf falsafi.
Dalam sejarah pemikiran tasawuf, munculnya corak pemikiran tasawuf falsafi diawali dengan hadirnya seorang sufi yang bernama Abu Yazid Al-Bustami.[1] Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham fana dan baqa serta sekaligus pencetus paham ittihad. Ketiganya merupakan tiga aspek dari satu pengalaman yang terjadi setelah terapainya makrifah.

a.   Fana’ dan Baqa’
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksitensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah.[2] Fana dalam pengertiannya yang umum menurut Al-Junaidi adalah:
Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disedari dan dirasakan oleh indra.[3]
Dari pengertian di atas dapat kita lihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau indrawi, sedangkan materi (jasad) manusia tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qusyairi: Adapun fananya dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Artinya untuk meningkatkan sehingga mencapai sifat-sifat Tuhan, seorang harus selalu dalam amalan dan akhlak yang terpuji. Kemudian dalam proses fana ada empat situasi geteran psikis yang di alami seseorang yaitu: al-sakar, al-syathahat, al-zawal al-hijab dan ghalab al-syuhud.[4]
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :
- Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.
- Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
- Fana terhadap pemberian Allah
- Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dirinya sendiri di dalam pengalaman mistiskal, baik dengan pengetahuan mistiskal maupun dengan penghayatan esetoris. Artinya seorang sufi yang sempurna adalah seseporang yang mengakui adanya esensi dan ben bentuk, tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan nono eksistensi dari bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinngi yang dicapai oleh seorang sufi. Dan Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera.
Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kacamata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan, sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf :
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ
Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal
Baqa adalah menetap dalam Allah untuk selamanya. Sesudah tahap fana dalam Allah, Allah menetapkan hambaNya ini dalam kedudukan segala kedudukan atau Dia menyuruhnya kembali ke dunia untuk menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Baqa juga merupakan proses kembalinya sang hamba pada manusia dalam jubah kehormatan. Kini dia melihat Allah ada dalam segala sesuatu dan pada setiap saat.[5]
Abu Yazid Al-Bustami juga pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah. Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Akupun bertanya: “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Fana dan baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalui penerangan yang merupakan rahasia Tuhan. Untuk mencapai station fana dan baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

b. Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Ittihad berasal dari kata ittahad yattahid ittihad  (dari kata wahid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihad menurut Abu Yazid al-Busthami secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, Ittihad merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihad dicapai dengan beberapa proses (maqamat) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fana’ dan baqa’ sebagai pintu gerbang menuju Ittihad.

Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid Al-Bustami. Pada suatu dalam pengembaraannya, setelah shalat Shubuh, Yazid Al-Bustami berkata pada orang-orang yang mengikutinya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku.” Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata dalam syathahatnya, “Subhani subhani, ma a’zhoma sya’ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku)”.
Ungkapan Abu Yazid Al-Bustami berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Abu Yazid berkata: “Tuhan berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.[6]
Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Jadi, Ittihad adalah bersatunya seorang sufi (tasawuf) sedemikian rupa dengan Allah setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baqa’ (tetap bersatu dengan Allah).[7]
Dari paparan di atas, dapat penulis pahami para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, Al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf. Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata Aku bukanlah dimaksudkan pribadi Abu Yazid, tetapi pada hakikatnya kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang pada saat itu sedang dalam wahdatul wujud.

d.      Hulul
Doktrin Al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi. Konsepsi hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Mansur Al-Hallaj.[8] Hulul adalah inkarnasi, yaitu “penitisan” Tuhan dalam diri manusia berupa masuknya sesuatu pada sesuatu lainnya.[9]
Hulul secara etimologis berasal dari kata halla yahullu hululan berarti berhenti atau diam. Menurut Abu Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulul dibangun di atas landasan teori lahut dan Nasut. Lahut berasal dari perkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkatan nas yang berarti manusia, sedangkan Nasut berarti sifat kemanusiaan.[10]
Hulul Al-Hallaj bermula dari pendapatnya yang mengatakan bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Al-Hallaj mengatakan:  Kemanusiaan tidak terpisak dari-Nya, namun tidak bertemu dengan-Nya”. Dari ucapan di atas, ada sufi yang mengatakan bahwa sebenarnya Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahat). Seperti terlihat dalam syairnya:
Aku adalah rahasia yang Maha benar dan bukanlah Yang Maha besar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahat. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqamat hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fana’ 'an al-nafs.
Dari uraian di atas, tampak bahwa reaksi apa pun  yang muncul dari ummat Islam maupun non Islam terhadap Al-Hallaj, ia tetap mempunyai andil yang besar dalam perkembangan tasawuf. Syathahat yang diucapkan para sufi hendaknya dipahami secara sufi pula, sehingga Al-Hallaj tidak perlu dikafirkan dan mengalami nasib yang menyedihkan.

e.      Wahdatul Wujud
Salah satu paham tasawuf yang mengundang kontroversi sangat luas adalah pemikiran tentang wahdatul wujud, yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi.[11] Wujud atau wahdat al-wujud dalam terjemahan bebas berarti kesatuan wujud.[12] Menurut mutakallim (teolog) adalah sifat wajib bagi Tuhan. Maka Ia memiliki wujud, alam memiliki wujud. Jadi, ada dua wujud, wujud Tuhan dan wujud alam. Wujud Tuhan mutlak dan absolut, wujud alam relatif dan nisbi. Sedangkan wujud menurut Ibn ‘Arabi adalah pandangan bahwa satu-satunya yang ada di alam ini hanya Allah. Dilihat dari satu sisi manusia, dunia, dan seluruh keberadaan fenomenal lainnya tidak benar-benar ada. Artinya, semua itu dan berada secara terpisah dan sepenuhnya tergantung kepada Allah.
Selain itu juga, wahdat al-wujud dipahami dengan dua pemahaman:
1. Ibnu Arabi mengatakan bahwa wujud alam adalah wujud Allah, wujud makhluq adalah wujud khaliq. Segala yang ada adalah pengejawantah-Nya. Wahdat al-wujud dipandang sama dengan panteisme, paham serba Tuhan. Namun, paham ini mendapat banyak kritikan dari sebagian besar para ulama yang salah satunya adalah Ibn Taymiyyah.[13]
2. Wahdat al-wujud dipahami bahwa Tuhan tercermin pada alam dan alam cermin Tuhan. Al-Haqq, Tuhan Yang Maha Benar, ber-tajalli. Alam ciptaan Allah adalah tempat tajalli Tuhan. Al-Khalq tidak memiliki wujud hakikat (yang sebenarnya), ia tergantung kepada Al-Haqq, wujud yang mutlak atau wujud yang absolut. Adapun korelasi antara ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud adalah persamaan pada tataran esensi yang manifestasinya berbeda dalam bentuk bahasa.
Dari keterangan di atas, dapat penulis pahami bahwa inti ajaran tasawuf dari wahdatul wujud diterangkan Ibn Arabi  dengan menekanka pengertian  kesatuan keberadaan hakikat. Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun nampaknya ada, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang Tuhan Sang Pencipta. Seandainya Tuhan tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanyalah Allah.

f.     Insan Kamil
Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik sampai sekarang belum pernah berhenti. Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki kesempurnaan dan keunggulan ketimbang makhluk lain. Salah satu pembicaraan tentang manusia dalam perspektif tasawuf yang sampai sekarang masih banyak diminati oleh para pengkaji tasawuf adalah pemikiran insan kamil (manusia sempurna). Pemikiran ini pernah dikemukakan oleh Al-Jilli.[14]
Insan kamil adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Gagasan insan kamil ini kemudian dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428) sebagai pengikutnya.
Menurut Ibn Arabi, hanya insan kamil sajalah yang memiliki kemungkinan untuk mengenal Tuhan secara pasti dan benar. Dan sebaliknya, melalui insan kamillah Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil adalah iradah dan ilmu Tuhan yang dimanifestasikan.[15] Sedangkan Al-Jilli merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.[16]
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian, yaitu:
1.      Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
2.      Insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Dari paparan di atas, maka penulis dapat memahami bahwa manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa setiap manusia memiliki otonomi pribadi dan peluang untuk meningkatkan jati dirinya hingga mencapai kualitas insan kamil melalui proses sufistis.
                                                                       


            [1] Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster. kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang  patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Abu Yazid al-Bustami, sebagai salah satu tokoh yang sangat populer di kalangan sufi yang condong pada pemikiran falsafi di mana beliau yang pertama kali melahirkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Ia juga pionir aliran eksotik (‘mabuk’) dalam sufisme. Ia juga dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan. M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2003, hal. 67.

[2] A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2002, hal. 146.

[3] M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema..., hal. 68.

[4] Al-sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya.  Al-syathahat secara bahasa adalah gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar. Al-zawal al-hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan, ini serupa atau mirip dengan mukhasyafah. Ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, dimana seseorang lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya. Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme..., hal. 148.

[5]  Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, 2000, hal. 48.

[6]  M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema..., hal. 70.

[7] Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, Solo: Wacana Ilmiah Press, 2006, hal: 58.
[8] Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M. Ketika usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz. Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan. Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".

[9] Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki ..., hal. 101.

[10] M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema..., hal. 74.


[11] Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta’i (28 Juli 1165-16 November 1240) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi adalah seorang sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 di Al-Andalus, Spanyol. Pada usianya yang ke 8, bersama keluarganya, ia pindah ke Sevilla. Pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko. Ibnu Arabi sangat dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna, menurutnya. Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham wihdat al-wujud Ibnu arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip wihdat al-wujud, diantaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-Palimbani.
[12] M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema..., hal. 86.



[13] Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa penganut wahdatil wujud telah mengingkari tiga prinsip dasar keimanan: iman kepada Allah, hari akhir dan para Rasul. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta Timur: Khalifa, 2005, hal. 354-356.

[14]  Nama lengkapnya ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di Jilan (Gilan), Ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H). Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w. 821). Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang dengan pesat.  M. Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah..., hal. 100.


[15]  A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme..., hal. 211.

[16] Ahmad Daudi, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta: Rajawali Press, 1983, hal. 181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar