Sabtu, 29 Januari 2011

AL-JAR' WATA'DIL & AL-TAHAMMUL AL-ADA'

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hadist merupakan ucapan, perbuatan, ataupun taqrir Rasul Saw (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa, hadist merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syari’at setelah al-Qur’an. Karena itu, memandang hadist/sunnah sebagai sumber dalil syari’at merupakan suatu pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan semua mazhab fiqh.
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya.
Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits seperti Ilmu Jarhi wa Ta’dil dan tahammul wal ada’ sangat dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat diketahui etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi dipisahkan, serta mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
a. Bagaimanakah yang dimaksud dengan al-jarh wa al-ta’dil, yang meliputi:
1. Pengertian dan awal pertumbuhan al-jarh al-jarh wa al-ta’dil?
2. Syarat-syarat bagi ulama pen-jarh dan pen-ta’dil?
3. Metode ulama dalam menilai hal ihwal periwayat?
4. Pertentangan antara al-jarh wa al-ta’dil dan kaedah-kaedah penyelesaiannya?
5. Tingkatan dan lafadh-lafadh al-jarh wa al-ta’dil?
6. Kitab-kitab tentang al-jarh wa al-ta’dil?

b. Bagaimanakah yang dimaksud dengan al-tahammul wa al-ada’, yang meliputi:
1. Pengertian al-tahammul wa al-ada’?
2. Ahliyyat al-tahammul wa al-ada’ (kecakapan menerima dan meriwayatkan hadist)
3. Metode al-tahammul wa al-ada’ dan lafadh-lafadhnya?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan tentang al-jarh wa al-ta’dil, yang meliputi:
1. Pengertian dan awal pertumbuhan al-jarh al-jarh wa al-ta’dil.
2. Syarat-syarat bagi ulama pen-jarh dan pen-ta’dil.
3. Metode ulama dalam menilai hal ihwal periwayat.
4. Pertentangan antara al-jarh wa al-ta’dil dan kaedah-kaedah penyelesaiannya.
5. Tingkatan dan lafadh-lafadh al-jarh wa al-ta’dil.
6. Kitab-kitab tentang al-jarh wa al-ta’dil.

b. Untuk menjelaskan tentang al-tahammul wa al-ada’, yang meliputi:
1. Pengertian al-tahammul wa al-ada’.
2. Ahliyyat al-tahammul wa al-ada’ (kecakapan menerima dan meriwayatkan hadist).
3. Metode al-tahammul wa al-ada’ dan lafadh-lafadhnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
1. Pengertian dan awal pertumbuhannya
Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan saksi. Secara istilah ilmu hadist, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan.
Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.
Bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
Pertumbuhan al-jarh wal al-ta’dil hal ini jika ditinjau dari sisi sejarah, ada beberapa faktor hal ini dilakukan, yaitu:
a. Hadist sebagai sumber ajaran Islam.
b. Munculnya berbagai pemalsuan hadist.
c. Proses penghimpunan hadist.
d. Periwayatan hadist secara makna.
2. Syarat-Syarat Bagi Ulama Pen-Jarh Dan Pen-Ta’dil
Dalam kitab Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, Qawa’iduhu wa Aimmatuhu, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, menetapkan beberapa ketentuan dalam melakukan jarh dan ta’dil. Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayat hadis disebut sebagai al-Jarih wa al-Mu’addil. Jumlah mereka relatif tidak banyak. Sebab syarat-syarat untuk menjadi seorang kritikus dan diakui sebagai kritikus hadis memang tidak ringan. Ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi seseorang sebagai Jarih dan Mu’addil.
a. Syarat-syarat Jarih
• Jarih harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh seseorang dengan kebatilan.
• Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui keadaan perawi.
• Mengetahui sebab-sebab jarh.
• Tidak ta’ashub.


b. Syarat-syarat Mu’addil
Selain itu, para ulama juga menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang Jarih dan Mu’addil. Di antara syarat-syarat sebagai Mu’addil adalah sebagai berikut:
• Mu’addil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
• Mu’addil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan para perawi.
• Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau jarh (cacat). Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti kebenaran sebab-sebab tersebut.
• Tidak ta’ashub terhadap orang yang dita’dilnya, sehingga ia akan manta’dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.

3. Metode Ulama Dalam Menilai Hal Ihwal Periwayat
Beberapa metode yang ditetapkan ulama dalam menjelaskan keadaan para periwayat, baik dalam keadaan cacat maupun dalam keadaan siqah. Di antaranya adalah:
• Jujur dan bersih dalam memberikan penilaian. Dalam hal ini ulama menyebutkan sifat-sifat yang melekat pada diri periwayat, baik positif maupun negatif. Dalam hal ini Ibnu Sirin berkata, dlalamta akhaka iza zakarta masa’ahu wa lam tazkur mahasinahu. “Sungguh engkau telah berbuat zalim atas saudaramu, jika engkau hanya menyebutkan kekurangan-kekurangannya saja tanpa menyertakan kelebihannya. Menerapkan sifat amanah tanpa melibatkan idiologi tertentu sangat dianjurkan dalam menjelaskan kebenaran, meskipun untuk menilai diri sendiri. Hal ini bisa menambah keimanan dan keistiqamahan seseorang. Terkait dengan keadaan ini. Syu’bah bin Hajjaj telah meriwayatkan sebuah hadis: faqila lahu: innaka tukhalifu fi haza al-hadis qala man yukhalifuni ? qalu Sufyan al-Sauri. Qala da’uhu, Sufyan ahfazu mini. Dikatakan bahwa Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan hadis yang berbeda dengan periwayatan Sufyan al-Sauri, kemudian Syu’bah mengakui kelebihan Sufyan al-Sauri, dan mengakui kekurangan yang ada pada pribadinya. Syu’bah memuji Sufyan dengan mengatakan lebih hafiz dari dirinya.
• Detail dan cermat dalam meneliti dan menilai. Seorang penilai harus cermat dan detail dalam melihat kepribadian seseorang. Detail dalam melihat kedalaman pengetahuan mereka tentang periwayatan hadis. Seorang periwayat kadang meriwayatkan hadis pada saat daya ingatnya sedang kacau, misalnya karena umurnya sudah lanjut atau dalam keadaan sakit.
• Memperhatikan etika dalam jarh. Ulama telah menetapkan beberapa kode etik sesuai dengan penelitian ilmiah yang harus diperhatikan oleh seorang penilai. Di antaranya adalah menghindari ungkapan yang paling kasar, misalnya “fulan wadhdha’, fulan kazzab”, untuk menghindari ungkapan-ungkapan seperti itu bisa memakai kalimat-kalimat yang halus dan sopan, misalnya “hadisuhu laisa bisyai’, lam yakun mustaqim al-lisan”, “dia tidak bisa menjaga lisannya”. Ungkapan itu sama artinya dengan dia suka berbohong. Dalam hal ini, al-Muzni pernah bercerita: sami’ani al-Syafi’I yauman wa ana aqulu fulanun kazzab, faqala li : ya Ibrahim, Aksu alfazaka ahsanuha, la taqul kazzab, wa lakin qul hadisahu laisa bisyai’in.
• Mengharuskan untuk menyebutkan sebab-sebab kecacatan atau kelemahan periwayat. Dalam melakukan ta’dil, ulama tidak mengharuskan menyebutkan sebab-sebab keadilannya, mengingat sebab-sebab dalam ta’dil sangat banyak. Misalnya, “fulan siqah adil karena ia rajin melakukan salat, menjalankan puasa, mengerjakan amalan-amalan sunnah dan tidak pernah menyakiti orang lain”. Tetapi cukup menyebutkan dengan “fulan sabat siqah, atau fulan saduq”. Berbeda dengan jarh, pada umumnya mereka menjelaskan sebab-sebab yang melemahkanya, misalnya sering lupa, sering salah, hafalannya kacau, dusta, fasik, dll.

4. Pertentangan Antara Al-Jarh Wa Al-Ta’dil Dan Kaedah Penyelesaiannya
Berikut ini beberapa kaidah atau sebagai metode penyelesaian yang ditetapkan para ulama, jika terjadi perbedaan penilaian atas diri seorang periwayat. Kaidah-kaidah ini juga perlu dijadikan bahan oleh peneliti hadis ketika melakukan kegiatan penelitian, khususnya berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis.
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorag perawi,. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi
ke dalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan Kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
• Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib sebenarya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
• Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi, sebagai orang yang daya afalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.

Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits,
sebagai berikut:
a. Al-Ta’dil Muqaddamun ‘ala al-Jarhi (Ta’dil didahulukan atas jarh)
Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat baiknya. Karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Maka sifat yang dominan adalah sifat terpuji.
b. Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala al-Ta’dil (Al-jarh didahulukan atas ta’dil)
Maksudnya bila seorang dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat yang dinilai celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih paham pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan.
c. Iza Ta’aradha al-Jarihu wa al-Mu’addilu fa al-hukmu li al-Mu’addil illa iza subita al-jarhu al-mufassar
Maksudnya, Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Dalam hal ini apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Jumhur ulama mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian. Kemudian bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaan itu memang tidak relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji tersebut yang harus dipilih.

5. Tingkatan dan Lafadh-Lafadh Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Berdasarkan hasil penelitian ulama ahli kritik hadis, ternyata keadaan para periwayat hadis bermacam-macam. Sesuai dengan keadaan para periwayat itu, maka ulama ahli kritik hadis menyusun peringkat para periwayat di lihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Keadaan para periwayat yang bermacam-macam itu dibedakan dalam ilmu jarh wa ta’dil. Urut-urutan lafaz itu dikenal dengan sebutan maratib. Dalam tingkatan –tingkatan Mu’addil, dikenal istilah-istilah sebagai berikut:
1. Mutasahil dalam ta’dil (terlalu mudah memberi rekomendasi keadilan). Maka tingkat yang pertama ini tidak diterima bila ia memberikan rekomendasi siqah kepada seseorang, kecuali bila ia benar-benar mengetahui secara pasti. Diantara ulama’ yang mutasahil dalam ta’dil, yaitu Imam Muhammad bin Ishaq bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya, Al-Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.
2. Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang perawi). Untuk yang kedua ini ta’dilnya dipegang erat-erat, apalagi terhadap perawi yang diperselisihkan. Diantara para ulama’ yang mutasyadid adalah Abu Hatim Ar Razi, Al-Jurjani dan An Nasa’i. Ibnu Ma’in juga dikatakan sebagai mutasyadid.
3. Mu’tadil (sikap pertengahan). Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan diterima, dan tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama’ yang termasuk mu’tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi al- alfaz al-jarh wa ta’dil (peringkat lafaz-lafaz ketercelaan dan keterpujian).

Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan, sedangkan para ulama lainnya menambah dua point menjadi enam, di antaranya adalah:
1. Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau mengikuti wazan af’al. , contoh: Fulanun Asbata An Nas (Fulan adalah manusia yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut (fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.
2. Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
3. Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: Tsiqah, tsabat, mutqin.
4. Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, contoh: shaduquna (orang yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa ba’sa bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).
5. Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).
6. Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).

Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama untuk peringkat al-jarh dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam urutan al-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada urutan keempat. Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat lafaz, untuk jarh wa ta’dil itu memberi petunjuk bahwa memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian misalnya dengan menghubungkan penggunaan lafaz itu kepada ulama yang memakainya.
6. Kitab-kitab tentang al-jarh wa al-ta’dil
a. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:
• Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).
• Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir (W. 630 H/1232 M).
• Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652 H/1449 M).
Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun
berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:
• al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H)
• Tazkirah al-Huffaz karya Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (W. 748 H/1348 M).
Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum.
• Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).
• Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H).
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu.
• Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari.
• Rijal Sahih Muslim, karya Ahmad ‘Ali al-Asfahani (W. 428 H). kitab ini membahas khusus para periwayat dalam Sahih Muslim.
• Al-Jam’u Baina al-Sahihain, karya Ibnu al-Qaisarani bin Tahir al-Maqdisi (W. 507 H). Kitab ini membahas para periwayat dalam sahih Bukhari dan sahih Muslim.
• Al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’, karya Muhammad bin Yahya al-Tamimi (W. 416 H). Kitab ini membahas khusus periwayat dalam al-Muwatta’ Imam Malik.
• Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abdul Gani al-Maqdisi (W. 600 H). Kitab ini membahas para periwayat hadis dalam kutub al-sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan perintis kitab rijal yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
Kitab-kitab yang memuat penyempurnaan ataupun ringkasan rijal yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
• Tahzib al-Kamal, susunan Abu al-Hajjaj Yusuf bin Zakki al-Mizzi, (W. 742 H).
• Akmal Tahzib al-Kamal, karya ‘Ala’ al-Din Muglataya (W. 762 H),
• Tazhib al-Tazhib, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi (W. 746 H/1348 M).
• Al-Kasyif fi Ma’rifati man lahu Ruwatun fi al-Kutub al-Sittah karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
• Tahzib al-Tahzib karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (W. 852 H/1449M).
• Taqrib al-Tahzib susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
• Khulasah Tazhib Tahzib al-Kamal karya Safi al-Din Ahmad ‘Abdillah alKhazraji (W. 924 H).
Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis, yaitu, kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas siqah oleh penyusunnya.
• Al-Siqat karya Abu al-Hasan Ahmad bi ‘ Abdillah al-‘Ijli (W. 261 H).
• Al-Siqat karya Abi Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (W. 354 H/).
• Tarikh Asma’ al-Siqat min man Naqala ‘anhum al-‘ilma karya Umar bin Ahmad bin Syahin (W. 383 H).
Sedangkan kitab-kitab yang khusus membahas periwayat yang dinilai lemah (dha’if) oleh penyusunnya.
• Al-Dhu’afa’ al-Kabir dan al-Dhu’afa’ al-Saghir susunan al-Bukhari.
• Al-Dhu’afa’ wa al-Matrukun karya al-Nasa’i
• al-Dhu’afa’ karya Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (W. 323H).
• Ma’rifatu al-Majruhina min al-Muhaddisin susunan Abu Hatim al-Busti.
• Al-Kamil fi Dhu’afa’ al-Rijal karya Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adi al-jurjani
• Mizaz al-I’tidal fi Naqdi al-Rijal, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi
• Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
• Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan negara asal mereka, misalnya, Tarikh Wasit


B . Al-Tahammul Wa Al-Ada’
1. Pengertian Al-Tahammul Wa Al-Ada’
Tahammul merupakan suatu cara pencarian hadis sedangkan Ada” adalah penyampaian (periwayatan). Para ulama dan peneliti umumnya masih banyak yang beraaggapan bahwa Hadis Nabi saw tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Jadi pengertian tahammul wal ada’ adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist kepada murid, atau proses mempublikasikannya setelah ia menerima dari seorang guru.

2. Ahliyyat Al-Tahammul Wa Al-Ada’ (Kecakapan Menerima dan Meriwayatkan Hadist)
Adapun syarat-syarat Tahammul 1). mendengarkan hadis 2). boleh laki-laki atau perempuan Islam, baliq, adil, dhabit 3) ketika mendengar ia dalam kedaan sehat, memahami dan bagus hapalannya baik dalam hati maupun tertulis 4). bolah bagi anak-anak yang sudah berusia lima tahun asalkan sudah bisa membedakan antara kuda dan sapi. sedangkan syarat-syarat Ada’ 1). sebelum baliq tidak boleh meriwayatkan hadis 2). anak kecil belum bisa menyampaikan hadis karna siapa tau bohong 3). orang yang selalu bertaqwa 4). periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat itu bisa diterima sebab sewaktu gila ia hilang kesadarannya ada ke-dhabith-an.

3. Metode Al-Tahammul Wa Al-Ada’ Dan Lafadh-Lafadhnya
Adapun jenis-jenis Tahammul (mendapatkan hadis) yang dilakukan oleh ulama dalam meneliti rawi baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan keadaan yang bersifat umum, segi daya hafal, dan segi kecermatannya, yakni dengan meneliti bagaimana si perawi itu memperoleh hadis dari gurunya. Dan kemudian dibahas bagaimana cara mereka atau metode menerima dan menyampaikan kepada rawi lain, yang dalam masalah ini kita kelompokkan sebagai berikut:
• Sima’, yaitu seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hafalan atau tulisannya kepada muridanya. Dan murid-muridnya mendengar, menghafal, dan menulisnya. walaupun mendengar dibalik hijab, asal berkeyakinan bahwa yang suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain.
• Seorang murid membacakan hafalan atau tulisannya di hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. seperti قَرَأْتُ عَلَيْهِ “Saya telah membacakan di hadapannya” قُرِئَ عَلى فُلاَنِ وَاَناَ اَسْمَعُ “ Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarnya”
Seorang murid mendengar dari murid yang lainnya yang sedang membaca dihadapan guru mereka.
• Munawalah (menyerahkan) dengan disertai ijazah, yakni seorang guru memberikan catatan asli atau salinannya kepada muridnya seraya menyebutkan bahwa salinan tersebut merupakan hasil catatanya, dan mengatakan, “Saya ijazahkan kepadamu dan kalian boleh meriwayatkannya.” seperti diberi ijazah:هَذَا سَما عىِ اَوْ رِوَايتِيْ عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِهِ “Ini adalah hasil pendengaranku dan periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah”
• Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya. Dalam hal ijazah ini, banyak macam ragamnya, yaitu mengijazahi tulisan dengan disertai izin.
اَجَزَتُ لَكَ رِوَايَةَ اْلِكتَابِ اْلفُلاَنِى عَنِّى“ Aku Ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya”
• Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar,” tampa mengatakan kepada muridnya, “Riwayatkan hadis ini dari saya! Atau saya ijazahnya periwayatan hadis kepadamu.” Dan pendapat yang sahih menurut ulama bahwa periwayatan yang semata-mata munawalah (penyerahan) saja itu tidak dapat diterima.
• I’lam yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
• Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya.
• Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijinkan kepadaku,” Di dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal dari Periwayatan anaknya, banyak hal seperti ini.

Demikianlah metode Tahammul yang dilakukan oleh para ulama dalam meneliti kehidupan rawi baik yang berkaitan dengan keadaan umum maupun khusus.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
A. Al-Jar’h wa Al-Ta’dil
1. Pengertian dan awal pertumbuhan al-jarh wa al-ta’dil
a. Pengertian al-jarh wa al-ta’dil
Ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
b. Awal Pertumbuhannya
Pertumbuhan al-jarh wal al-ta’dil hal ini jika ditinjau dari sisi sejarah, ada beberapa faktor hal ini dilakukan, yaitu:
 Hadist sebagai sumber ajaran Islam.
 Munculnya berbagai pemalsuan hadist.
 Proses penghimpunan hadist.
 Periwayatan hadist secara makna

2. Syarat-syarat bagi Ulama Pen-Jarh dan Pen-Ta’dil
a. Syarat al-jarh’
 Jarih harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh seseorang dengan kebatilan.
 Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui keadaan perawi.
 Mengetahui sebab-sebab jarh.
 Tidak ta’ashub.
b. Syarat al-ta’dil
 Mu’addil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
 Mu’addil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan para perawi.
 Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau jarh (cacat). Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti kebenaran sebab-sebab tersebut.
 Tidak ta’ashub terhadap orang yang dita’dilnya, sehingga ia akan manta’dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.

3. Metode Ulama Dalam Menilai Hal Ihwal Periwayat
 Jujur dan bersih dalam memberikan penilaian
 Detail dan cermat dalam meneliti dan menilai
 Memperhatikan etika dalam jarh
 Mengharuskan untuk menyebutkan sebab-sebab kecacatan atau kelemahan periwayat.
4. Pertentangan Antara Al-Jarh Wa Al-Ta’dil Dan Kaedah-Kaedah Penyelesaiannya
Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan Kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Kaedah penyelesaiannya adalah Al-Ta’dil Muqaddamun ‘ala al-Jarhi (Ta’dil didahulukan atas jarh), Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala al-Ta’dil (Al-jarh didahulukan atas ta’dil), Iza Ta’aradha al-Jarihu wa al-Mu’addilu fa al-hukmu li al-Mu’addil illa iza subita al-jarhu al-mufassar


5. Tingkatan dan Lafadh-Lafadh Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
 Mutasahil dalam ta’dil (terlalu mudah memberi rekomendasi keadilan)
 Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang perawi).
 Mu’tadil (sikap pertengahan).
Sedangkan Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan, sedangkan para ulama lainnya menambah dua point menjadi enam, di antaranya adalah:
 Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau mengikuti wazan af’al. , contoh: Fulanun Asbata An Nas (Fulan adalah manusia yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut (fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.
 Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
 Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: Tsiqah, tsabat, mutqin.
 Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, contoh: shaduquna (orang yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa ba’sa bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).
 Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).
 Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).

6. Kitab-Kitab Tentang Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
 Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi
 Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang disusun
 berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah)
 Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum
 Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu
 Kitab-kitab yang memuat penyempurnaan ataupun ringkasan rijal yang membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah
 Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis, yaitu, kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas siqah oleh penyusunnya
 Kitab-kitab yang khusus membahas periwayat yang dinilai lemah (dha’if) oleh penyusunnya.

B. Al-Tahammul Wa Al-Ada’
1. Pengertian Al-Tahammul Wa Al-Ada’
Al-Tahammul wal ada’ adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist kepada murid, atau proses mempublikasikannya setelah ia menerima dari seorang guru
2. Ahliyyat Al-Tahammul Wa Al-Ada’ (Kecakapan Menerima Dan Meriwayatkan Hadist)
a. Adapun syarat-syarat Tahammul
 Mendengarkan hadis
 Boleh laki-laki atau perempuan Islam, baliq, adil, dhabit
 Ketika mendengar ia dalam kedaan sehat, memahami dan bagus hapalannya baik dalam hati maupun tertulis
 Boleh bagi anak-anak yang sudah berusia lima tahun asalkan sudah bisa membedakan antara kuda dan sapi.
b. Syarat-syarat Ada’
 Sebelum baliq tidak boleh meriwayatkan hadis
 Anak kecil belum bisa menyampaikan hadis karna siapa tau bohong
 Orang yang selalu bertaqwa
 Periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat itu bisa diterima sebab sewaktu gila ia hilang kesadarannya ada ke-dhabith-an.

3. Metode al-tahammul wa al-ada’ dan lafadh-lafadhnya
 Sima’: suara gurunya
 Seorang murid membacakan hafalan atau tulisannya di hadapan gurunya, : Saya telah membacakan di hadapannya
 Munawalah (menyerahkan) dengan disertai ijazah: Saya ijazahkan kepadamu dan kalian boleh meriwayatkannya
 Ijazah tampa munawalah: Ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya
 Munawwalah tampa ijazah : Riwayatkan hadis ini dari saya! Atau saya ijazahnya periwayatan hadis kepadamu
 I’lam : pemberitahuan guru
 Wasiat : Pesan ketika berpergian/meninggal
 Wijadah : “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijinkan kepadaku,”



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Baghdadi, Al-’Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, Mesir: Al-Risalah, 1980.

Al-Siba’I, al-Sunnah wa makanatuha fi Tasyri’ al-Islam, ttp. Dar al-Qaumiyyah, 1966.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, ttp. : Dar al-Fikr wa al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.

Muhammad Idris Al-Syafi’iy, Al-Risalah, Kairo: Al-Halabiy, 1969.

Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah, tth.

Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/ 1983 M.

Yusuf Qardhawi. Studi Kritis As-Sunnah. Terj. Bahrun Abu bakar dari judul asli Kaifa Nata’amalu Ma’ as-Sunatin Nabawiyah. Bandung: Trigenda karya. 1996.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar