Kamis, 20 Januari 2011

ATIKEL: KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADIST


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`ān berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, sementara hadist menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional, bahkan hadist bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika al-Qur`ān sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut. Dengan demikian al-Qur`ān dan hadist merupakan “Dwi-Tunggal” yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat al-Qur`ān yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).[1]
Para ulama terdahulu dalam menghimpun hadist penuh dengan kehati-hatian dan penelitian yang mendalam untuk menemukan keotentikan hadist yang berasal dari Rasul. Ini dapat dilihat dalam kegiatan mereka menciptakan bermacam kaidah dan teori ilmu-ilmu hadist yang menyangkut tentang sanad dan matan. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan dalam penilaian hadist (kritik hadist) sehingga diperlukan metode tersendiri, yaitu metode penelitian sanad dan penelitian terhadap matan hadist. Fokus penelitian sanad[2] adalah lambang periwayatan yang digunakan rawi dan sejarah para rijal, termasuk latar belakang kualitas dan kuantitas rawi.
Mengenai hal ini, Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa, hadist merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syari’at setelah al-Qur’an. Karena itu, memandang hadist/sunnah sebagai sumber dalil syari’at merupakan suatu pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan semua mazhab fiqh.[3]
Sunnah pada dasarnya prilaku teladan dari seseorang tertentu. Dalam konteks hukum Islam, ia merujuk pada model perilaku Rasulullah Saw. al-Qur`ān meminta kepada Rasul Saw untuk memutuskan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dengan dasar wahyu. Dengan demikian, maka otoritas pokok bagi legislasi Islam adalah al-Qur`ān.[4] Mengenai hal ini, Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa, hadist merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syari’at setelah al-Qur`ān. Karena itu, memandang hadist/sunnah sebagai sumber dalil syari’at merupakan suatu pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan semua mazhab fiqh.[5]
Meskipun demikian, al-Qur`ān menyatakan bahwa Rasul adalah penafsir al-Qur`ān. Sunnah Nabi merupakan penafsiran al-Qur`ān dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat pribadi Rasul merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk manusia serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.[6] Dalam kenyataannya, pada zaman sekarang hadist Nabi yang suci itu telah menghadapi berbagai serangan sengit dari para budak pemikiran Barat. Dengan segenap kekuatan dan tipu muslihat, mereka berusaha membunuh dan menghancurkan hadist dengan berbagai cara. Ada yang menanam keragu-raguan mengenai validitasnya, ada yang menyerang dengan menggugat otoritas hadist dalam tasyri’, sebagian lain ada yang menghancurkan hadist dengan mendistorsi asli makna hadist itu sendiri, yaitu menggunakan hadist sebagai dalil untuk masalah yang tidak relevan dengannya.[7]
Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadist Nabi Saw telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat), para orientalis terus saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadist Nabi Saw tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan hadist tersia-sia. Alasannya karena hadist belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadist Nabi Saw sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, mereka (orientalis) mengatakan bahwa hadist tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor utama yang menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicilia. Di samping juga imbas perang Salib secara khusus menjadi pemacu orang-orang Eropa melakukan pengkajian terhadap dunia Islam. Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan agama dan ideologi antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat terhadap Islam. Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka concern terhadap kebudayaan Islam.
Singkatnya, setiap disiplin ilmu melakukan kegiatan penyelidikan menurut bidang masing-masing. Segala macam kegiatan itu berlaku terhadap bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa di benua Timur beserta lingkungannya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang dicakup oleh para ahli ketimuran itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di antaranya:
  1. Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
  2. Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam.
Dengan demikian sebagaimana permasalahan di atas, maka penulis mencoba membahas lebih lanjut terhadap permasalahan kritik orientalis terhadap hadist dalam pembahasan makalah ini yang merupakan tugas dari mata kuliah ulumul hadist pada semester ganjil, dengan membatasi masalah dalam rumusan permasalahan berikut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
  1. Bagaimanakah persepsi orientalis terhadap hadist?
  2. Bagaimanakah pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist?
  3. Bagaimanakah Pandangan ulama dalam menanggapi dan meluruskan kritik hadist orientalis?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk menjelaskan persepsi orientalis terhadap hadist.
  2. Untuk menjelaskan pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist.
  3. Untuk menunjukkan pandangan ulama dalam menanggapi dan meluruskan kritik hadist orientalis.
  4. Asumsi penulis terhadap jawaban dari rumusan pembahasan yang telah ditetapkan sebelumnya!

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik dan Orientalis
Kritik dan Orientalis terdiri dari dua kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari sinilah, penulis merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan yang lain. Kata kritik (Critic) ditinjau dari beberapa bahasa[8] dapat kita pahami adalah upaya untuk menunjukkan/mendahulukan kesalahan daripada mencari kebenarannya dari.  Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan. Dengan demikian, maka dalam benak kita ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak tampak.
5
 
Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[9] Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.[10]
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya. Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang non muslim.
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam, prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.[11]
Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa kritik orientalis adalah upaya penelitian dengan memberikan penilaian melalui prinsip-prinsip tertentu yang dilakukan oleh orang-orang barat dalam masalah ketimuran. Dalam hal kajian makalah ini khususnya kritik orientalis berkaitan dengan permasalah hadist.


B. Persepsi Orientalis Terhadap Hadist
Pembukuan hadist secara resmi baru dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi Saw wafat.  Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadist. Perhatian orientalis terhadap peradaban timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-Qur’ān kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadist. Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan al-Hadist diragukan sebagai sabda Rasul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya.[12]
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadist, yaitu tentang perawi hadist[13], kepribadian Nabi Muhammad Saw[14], metode pengklasifikasian hadis.[15] Mereka memilih hadis dalam upayanya menyerang umat Islam karena kedudukan hadist yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadist adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur`ān sekaligus juga sebagai penjelas dari al-Qur`ān, karena hadist hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Qur`ān karena al-Qur`ān adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.

C. Pandangan tokoh orientalis dalam mengkrikitk hadist.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia bisa sampai pada kesimpulan yang menyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.[16]
Hadist menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat hadist yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadist-hadist palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya. Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadist pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua.
Berkenaan dengan hal ini, Ignaz Goldziher menyontohkan bahwa dalam sejarah terjadi pemalsuan isnad dan juga matan hadist dan kaum muslimun hanya memberi perhatian kepada kritik isnad, dan kurang memberi perhatian terhadap kritik matan, bukankah ini membuktikan bahwa tidak ada jaminan keotentikan hadist pada saat sekarang ini. Merespon hal ini, Ugi Suharto menyatakan bahwa literatur hadist-hadist mawdhu’at telah membuktikan bahwa hadist tersebut telah dipisahkan dari hadist-hadist yang lebih otentik.
Pembagian hadist kepada sahih, hasan dan dhaif juga membantu dalam menentukan keotentikan setiap hadist. Dan juga benar bahwa para penyusun hadist mempunyai spesialisasi dalam isnad, namun apabila sampai kepada para sarjana yang lain, seperti sarakh hadist, fiqh dan bidang ilmu yang lain, matan hadist turut menjadi perhatian mereka juga. Sebab hadist-hadist yang bertentangan dengan al-Qur`ān, akal yang sehat, riwayat yang mutawatir dan ijma’ sudah tentu akan ditolak oleh para ulama hadist. Karena diantara syarat kesahihan hadist adalah tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat dan ini adalah kritik sanad.
Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh lain adalah Joseph Schacht. Ia adalah orientalis Jerman yang lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Pada tahun 1959 ia pindah ke New York, dan menjadi Guru Besar di Universitas Coloumbia hingga meninggal pada awal Agustus 1969. Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun menurut penulis bidang ini tidak akan bisa lepas dari Hadist. Karena lebih dari setengah permasalahan yang ada dalam fiqh terdapat dalam Sunnah/Hadist Nabi.

D. Pandangan Ulama Dalam Menanggapi Dan Meluruskan Kritik Hadist Orientalis.
Kaum Muslimin memposisikan sunnah Nabi Muhammad Saw sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Dan hadist selama ia sahih (valid) menempati posisi yang sangat strategis dalam khazanah hukum Islam. Ali Musthafa Ya’kub menyatakan bahwa dalam ilmu hadist, kritik ditujukan kepada dua aspek, yaitu sanad dan matan.[17] Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih.
Anggapan seperti yang dituduhkan orientalis terhadap isnad ditolak oleh M. Azami, sebab menurutnya sistem isnad telah digunakan secara insidental (kebetulan) dalam sejumlah literatur pada masa pra-Islam walaupun dalam sebuah makna yang tak jelas, tanpa menyentuh sasaran pemakainya. Namun demikian, urgensi metode sanad ini baru tampak dalam riwayat hadist saja.
Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadist secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadist melakukan rihlah (perjalanan) mencari hadist. Dengan begitu maka Hadist akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadist tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadist dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadist yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadist untuk menyelesaikan masalah. Hadist yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa, hadist merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syari’at setelah al-Qur`ān. Karena itu, memandang hadist/sunnah sebagai sumber dalil syari’at merupakan suatu pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan semua mazhab fiqh.
Dalam hadist itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Tuhan dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad Saw. Karena sifatnya yang sangat praktis, dan tidak jarang mengikat secara keagamaan, al-Hadist sering menjadi lebih populer dan lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku sosio-keagamaan dibanding ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya kehidupan seorang muslim banyak ditentukan oleh Al-Hadist Nabi.[18]
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kedudukan keduanya sejajar. Hal ini terlihat antara lain pada jaminan redaksional dan pengondifikasiannya. Legalitas redaksi Al-Qur’an, sudah tidak diragukan lagi. Al-Qur’an langsung dari Allah dan Nabi Muhammad langsung meminta pada para sahabat untuk menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan Al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik. Sedangkan Hadist baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga  sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi. Penulisan hadist juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja[19]

E.  Asumsi Penulis Berkaitan Dengan Permasalahan
Kritik orientalis tersebut didasarkan kepada hasil penelitiannya terhadap hadist dan ilmu hadist, dengan segala aspeknya -kekurangan dan kelebihannya- kemudian dituangkan dalam bentuk yang argumentatif dan rasional-setidaknya menurut mereka- maka secara implisit juga merangsang dan menantang umat Islam untuk mematahkan argumentasi mereka berdasarkan data-data yang sebenarnya. Dan data-data itu diperoleh melalui penelitian juga.
Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemhaman dan wacana baru agar kita bisa melihat hadist, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih akan lebih objektif dari kita. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa permasalahan kritik orientalis terhadap hadist pada khususnya merupakan salah satu upaya dan usaha dalam rangka mencari titik kelemahan umat Islam, mengingat hadist Nabi Saw sebagai salah satu sumber pokok atau sumber utama bagi umat Islam. Namun demikian


BAB III
PENUTUP

            Setelah melakukan kajian lebih mendalam dan pembahasannya tentang munasabah yang merupakan suatu kajian khususnya dalam bidang ulumul al-Qur’an, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif di akhir makalah ini.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Hadist menempati posisi yang sangat strategis dalam Islam. Tetapi karena pembukuannya tidak dilakukan sebagaimana al-Qur`ān, maka ini menjadi sebab utama para orientalis mengkritik hadist dengan habis-habisan.
2.      Para orientalis dalam mengkritik hadist dan ilmu hadist berangkat dari niat yang tidak baik terhadap Islam. Berbeda dengan kritik yang dilakukan para ulama hadist, yang berangkat dari niat tulus untuk mengetahui keadaan hadist yang sebenarnya. Oleh karena itu wajar apabila kritik yang dilontarkan oleh orientalis ditujukan untuk merobohkan pondasi kedua bangunan Islam.
3.      Dibalik kritik orientalis, umat Islam pembela hadist merasa tertantang untuk menunjukkan kekeliruan proses dan hasil penelitian para orientalis, dengan menunjukkan data-data yang sebenarnya yang diperoleh dari penelitian juga.

B.     Saran-saran
Dari pembahasan diatas, penulis menyadari masih banyak celah dan hal-hal yang perlu pembahasan lebih mendalam lagi. Maka dari itu, saran, masukan dan juga kritik atas penulisan ini sangat diharapkan, walaupun berat menerima kritik atas pekerjaan yang telah dilakukan dengan maksimal dan segala keterbatasan yang ada pada diri penulis.






13
 


13
 

DAFTAR KEPUSTAKAAN




Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj. Agah Garnadi, Cet. II, Bandung: Pustaka, 1994

Al-Baghdadi, Al-’Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, Mesir: Al-Risalah, 1980.

Ali Musthafa Ya’kub, Imam Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadist, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th
.
Badriyah Fahyuni dan Alai Najib, Makhluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama2002.

A.S. Hornby, Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English, London: Oxford Univercity Press,1995.

Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, New York: Oxford University Press, 2001.

Yusuf Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah. Terj. Bahrun Abu bakar dari judul asli

Kaifa Nata’amalu Ma’ As-Sunatin Nabawiyah Bandung: Trigenda karya, 1996.


Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Verginia USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1993.  


_______________,As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Terj. Setiawan Budi Utomo, Cet. I, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.

John M. Echols dan Hasan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,1998.


Isma’il Ya’kub, Orientalis dan Orientalisme, Surabaya: Faizan, 1970.

M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung : Mizan, 1986.
 

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Houve, 2000.

M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1994.
Subkhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus1997.
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Muhammad Idris Al-Syafi’iy, Al-Risalah, Kairo: Al-Halabiy, 1969.



[1] Muhammad Idris Al-Syafi’iy, Al-Risalah, (Kairo: Al-Halabiy, 1969), hal. 18, dan lihat juga dalam Al-Baghdadi, Al-’Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, (Mesir: Al-Risalah, 1980), hal. 112-13.
[2] Tujuan penelitian sanad adalah untuk melihat mana hadis-hadis yang terkategori dalam klasifikasi maqbul dan mana yang mardud, setelah hadis sudah dapat ditentukan mana yang benar-benar berasal dari Nabi Saw dan yang bukan bersumber dari Nabi Saw, persoalan lain yang muncul adalah bagaimana metode untuk memahami sunnah tersebut agar dapat diamalkan dalam tataran praktis.
[3] Yusuf Qardhawi. Studi Kritis As-Sunnah. Terj. Bahrun Abu bakar dari judul asli Kaifa Nata’amalu Ma’ as-Sunatin Nabawiyah. (Bandung: Trigenda karya. 1996), hal. 43.
[4]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj. Agah Garnadi, Cet. II, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 44-45.
[5] Yusuf Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah. Terj. Bahrun Abu bakar dari judul asli Kaifa Nata’amalu Ma’ As-Sunatin Nabawiyah (Bandung: Trigenda karya, 1996). hal. 43.
[6]Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Verginia USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1993), hal. 23.  
[7]_______________, As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Terj. Setiawan Budi Utomo, Cet. I, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), hal. 5.
[8] Kritik dalam bahasa Yunani krites yang artinya “a judge (seorang hakim), yang berarti (1) a person who expresses an unfavuorable opinion or something, (2) a person who reviwes literacy or artistic works. Lihat. Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, (New York: Oxford University Press, 2001), hal. 283. Dalam Bahasa Inggris “Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas. Lihat. John M. Echols dan Hasan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 2001), hal. 709. Sedangkan Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan ”mengkritik” dan ”meneliti” dengan cermat. Lihat. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th.), hal. 1937. Adapun dalam kamus Bahasa Indonesia “Kritik” artinya “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah. Lihat. W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 527.
[9] A.S. Hornby, Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English, (London: Oxford Univercity Press,1995), hal. 277.
[10] Isma’il Ya’kub, Orientalis dan Orientalisme, (Surabaya: Faizan, 1970), hal. 11.
[11] M. Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung : Mizan, 1986), hal. 79.
[12]Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Houve, 2000), hal. 80.
[13] Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah, seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sabagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang”baru” dalam kehidupan Rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin Malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu Hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadist, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, dan Anas.
[14] Mereka membagi status nabi menjadi tiga; sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahawa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkonstruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak, hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadist, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad Saw.
[15] Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama saat ini: Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya, pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil..

[16] M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1994), hal. 117
[17] Ali Musthafa Ya’kub, Imam Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 20.
[18] Badriyah Fahyuni dan Alai Najib, Makhluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama2002), hal. 44
[19] Subkhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus1997), hal. 253-256.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar