Rabu, 26 Januari 2011

IDE PEMBAHARUAN

Munculnya Ide-Ide Pembaruan
Pembaruan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah upaya para pemikir untuk mewujudkan keselarasan antara Islam dan pemikiran Barat modern. Hal ini dilakukan dengan cara meninjau kembali ajaran-ajaran Islam, lalu menafsirkannya dengan tafsiran baru. Dapat dikatakan bahwa upaya seperti ini merupakan tujuan modernisme di Barat.
Pemikir dari generasi pertama yang memulai kontak dengan Barat adalah Rufa’ah At-Thahthawi (1801-1873 M). At-thahthawi belajar di universitas Al Azhar dan diangkat sebagai pimpinan misi sekelompok mahasiswa yang diutus oleh Muhammad Ali pasha (gubernur Mesir) ke Paris, Perancis pada tahun 1826-1831 M. Di Paris ia mulai merenungkan apa yang dilihatnya di sana serta apa yang seharusnya dilakukan untuk ‘membudayakan’ orang-orang Mesir. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan tentang dunia baru yang dilihatnya itu kepada orang-orang tua dan berusaha membuka tabir ketidakpastian yang timbul sebagai akibat dari sikap mengasingkan diri mereka. Organisasi politik dan ekonomi, rasa cinta kepada tanah air, kesadaran sebagai anggota masyarakat dan ilmu pengetahuan tampak di matanya sebagai kunci-kunci keberhasilan di bidang kekuasaan dan kemajuan Eropa.
Tokoh pemikir selanjutnya yang lebih dikenal sebagai bapak Pembaruan dalam dunia Islam adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India. Tokoh ini memiliki visi yang sama dengan At-thahthawi, yaitu berusaha mengkompromikan Islam dengan peradaban Barat. Pemikir Ahmad Khan berdiri di atas taqlid terhadap peradaban Barat dan prinsip-prinsip materinya, mengambil ilme pengetahuan modern dengan seluruh isi dan landasannya, lalu menafsirkan Islam serta Al Qur’an menggunakan tafsiran peradaban dan ilmu pengetahuan modern di akhir abad ke-19 M. Pada tahun1869, Ahmad Khan mendapat kesempatan berkunjung ke Inggris, kemudian mempelajari peradaban Eropa selama tujuh bulan. Sekembalinya dari Inggris, ia merasa bertanggung jawab untuk membuka mata kaum muslimin dan menunjukkan pada mereka perlunya mengambil dan meniru budaya Inggris. Menurutnya, ada tiga cara yang harus ditempuh, yaitu : bekerja sama dalam bidang politik, mengambil ilmu-ilmu kebudayaan Barat dan menyesuaikan penafsiran Islam dibidang pemikiran. Di antara murid- muridnya yang masyhur adalah : Chiragh Ali (1844-1895 M), Amir Ali Khada pasha (1849-1928 M), Ghulam ahmad Bruiz, Khalifah Abdul Hakim, Maulana Muhammad Ali (salah seorang pemimpin gerakan Ahmadiyah).
Di antara karya Chiragh Ali adalah "Perbaikan Politik, Undang-undang dan Sosial", yang diusulkan kepada Daulah Utsmaniyyah dan negeri negeri Islam yang lain, untuk diterapkan. Dalam buku tersebut tempak jelas adanya seruan untuk memadukan antara Islam dan zaman nodern.
Salah seorang penganjur utama gerakan pembaruan dalam Islam, pencetus gagasan pan Islamisme dan Bapak dari Nasionalisme Islam modern adalah Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897 M). Sebagai filosof, penulis, orator, wartawan dan aktivis politik, ia banyak melakukan perjalanan sejak dari India dan Afghanistan sampai ke Istambul, Kairo, Paris dan London, bergaul dengan kaum muslimin untuk menghidupkan kesadaran akan kekuatan mereka yang potensial untuk menghadapi tantangan kolonialisme. Ia pula yang menyebarluaskan hampir seluruh sikap dan tema yang menyangkut kepentingan umat Islam di kalangan para pejuang muslim sejak tahun 1900 M hingga sekarang. Sebagian Kaum muslimin di bawah pimpinan Jamaluddin Al-Afghani, mulai memprovokasikan pan Islamisme (Al-Jam’iyyah Al-Islamiyyah) dengan dukungan Inggris. Maksudnya tidak lain, agar Khilafah setuju dengan negeri-negeri yang melepaskan diri dari wilayahnya, sehingga pemisahan diri negeri-negeri tersebut diakui oleh khilafah dan tetap menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri. Artinya, Jamaluddin mendukung dihancurkannya tongkat kaum muslimin itu, sehingga mereka menjadi beberapa bangsa dan umat. Padahal inilah masalah mendasar yang harus diperangi oleh Islam. Karena pemisahan diri satu negeri dari tubuh Khilafah tersebut merupakan masalah primer yang menuntut untuk diintegrasikan pada tubuh Khilafah atau diperangi, berapa pun harta dan jiwa yang dikorbankan untuk menebusnya.
Mengenai pribadi Jamaluddin Al-Afghani sendiri, banyak penelitian yang membuktikan bahwa ia adalah orang Iran yang bermahzab Syi’ah. Kebanyakan aktivitasnya merupakan aktivitas bawah tanah. Dialah yang mula-mula memasukkan sistem organisme bawah tanah pada zaman modern di Mesir. Ia mendirikan organisasi rahasia Mesir muda yang mayoritas anggotanya adalah pemuda-pemuda yahudi. Ia kemudian membentuk perkumpulan Free masonry, mengikuti orientalis Perancis.
Pemikir dari kalangan pembaruan yang mempelopori visi dan paradigma adanya kompromi antara Islam dengan Barat adalah As-Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Dilahirkan pada masa ketika pemikiran kapitalis Barat serta standar-standar hidupnya mulai dipopulerkan bersamaan dengan adanya para delegasi studi ke Eropa. Pada periode ini, serangan-serangan kaum orientalis dan misionaris terhadap Islam serta Nabi Islam, Muhammad SAW, semakin membumbung. Muhammad Abduh memperoleh pendidikan kesarjanaan dari Al Azhar. Kemudian ia bertemu dan berdialog dengan Jamaluddin Al-Afghani, sampai selanjutnya ia ikut bersama jamaluddin ke Paris sebagai murid.
Para peneliti menyebut-nyebut muhammad Abduh banyak menganut pandangan-pandangan gurunya, Jamaluddin Al-Afghani. Akan tetapi sekembalinya dari Paris, dan mempopulerkan seruan revolusi politik, ia bersikap moderat terhadap pandangan-pandangannya semula, tanpa melalui medium politik dan revolusi, namun selalu paedagogis, penyuluhan, pendidikan, keagamaan dan kemasyarakatan. Sikap moderat dan perubahan ini memiliki pengaruh besar terhadap visi dan paradigmanya dalam menafsirkan Al Qur’an, yang kemudian mengkonsentrasikannya serta menjadi landasan bagi anjuran reformasi (dakwah ishlahiyyah) dan upayanya mempurifikasikan aqidah dari interpretasi manusia, bid’ah-bid’ah dan berbagai tuduhan. Muhammad Abduh telah menjadikan tafsir Al Qur’an sebagai pijakan bagi kecenderungan revolusinya, membangun masyarakat dan memperbarui agama. Tendensi reformasi ini, meski akar-akarnya berkaitan dengan Islam serta beberapa sikap para ulama kaum muslimin, akan tetapi tendensi tersebut telah terpengaruh kuat oleh konsepsi Kapitalisme. Muhammad Abduh memuji kebijakan inggris mengenai masalah toleransi dan keadilan. Fatwa-fatwanya antara lain membolehkan warga muslim India untuk mengadopsi konstitusi Inggris dan tunduk pada keputusan-keputusan pengadilan Inggris. Ia mengacungkan jempol dan mengagung-agungkan kajian Islam yang ditulis oleh pemikir Barat, mereka yang lazim disebut para oreintalis.
Beberapa visi dan paradigma tafsir Muhammad Abduh ada pada langkah-langkah mufassir salaf, nyaris tidak banyak berbeda dengan mereka. Namun, dalam beberapa visi dan paradigmanya, ia selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengkompromikan antara Al Qur’an dengan peradaban Barat modern.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), salah seorang teman dan murid setia Muhammad Abduh dikenal sebagai penyebar gagasan-gagasan Abduh. Ia menerbitkan majalah berkala Al Manar pada tahun 1898, yang ketika itu merupakan suara pembaruan Islam yang terpenting di dunis Arab. Rasyid Ridha adalah juru bicara resmi Abduh, yang merupakan intepretator pemikiran-pemikiran Abduh, sekaligus penjelas dan pensyarah pemikiran-pemikirannya.
Fazlurrahman (1919), seorang sarjana universitas Punjab dan mendapat gelar doktor (Ph.D) di Oxford. Setelah mengajar di Universitas Durham dan Lembaga Studi keislaman Universitas Mc. Gill (Kanada), ia kembali ke Pakistan dan menjabat sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Islam (Islamic research Institut) dan sebagai anggota Dewan Penasehat ideologi Islam (Advisory Council of Islamic Ideology) pada pemerintah Pakistan. Gagasan-gagasannya mengarah pada penggunaan suara mayoritas sebagai penentu kebijakan.
Thaha Husein (1889-1973), anggota kelompok Luthfi As-Sayyid dan juga aktif di surat kabar Al Jaridah. Selama empat tahun sejak tahun 1915, ia belajar sastra di Perancis. Kemudian kembali ke Mesir dan berkecimpung di bidang sastra dan ilmu. Ia pernah menjadi pimpinan universitas dan menjabat menteri pendidikan Mesir. Bagi Mesir, gagasan-gagasan yang ia kemukakan dianggap terlalu maju. Kedekatan dengan negara-negara Eopa dianggap Thaha Husein sebagai kesempatan yag baik.
As-Syeikh Ali Abdurraziq (1888-1966 M) adalah salah seorang teman akrab Muhammad Abduh, yang belajar di universitas Al Azhar dan kemudian di universitas Oxford (Inggris). Dalam suatu perdebatan menyusul peristia penghapusan Kekhilafahan pada tahun 1924 M, ia menampilkan sumbangan pikitan berjudul Wa Ushulu al-Hukmi (Islam dan dasar-dasar pemerintahan). Buku tersebut menafikan eksistensi Kekhilafahan sebagai salah satu dasar (penerapan) hukum Islam. Ali Abdurraziq adalah salah sorang ulama Al-Azhar dan hakim pengadilan agama. Untuk mempublikasikan pemikirannya, ia meminjam hasil-hasil studi keislaman karya para orientalis, baik nashrani maupun Yahudi, yang tidak suka pada Islam.
Inilah sebagian dari tokoh-tokoh terkemuka, yang menempatkan pembaruan sebagai hal yang wajib. Secara umum mereka menganggap bahwa Islam harus ditempatkan pada posisinya yang benar, yaitu mengkompromikannya dengan peradaban Barat (baik dalam bidang sosial, politik, sosiologi, moral dan sebagainya). Padahal disinilah pemahaman terhadap Islam menjadi rancu, karena berusaha dipahami sesuai dengan pemaknaan peradaban Barat.
Dewasa ini kita mengenal nama Ashghar Ali Engineer (India), Fhatima Mernisi (Maroko), Amina Wadud Muhsin (Malaysia) dan lain-lain. Asghar Ali lebih menekankan gagasannya pada tinjauan sosiologis, sedangkan Amina Wadud dan Mernisi lebih mengkhususkan pada isu keperempuanan. Tulisan-tulisan mereka sering dirujuk oleh kalangan pemikir pembaruan lain, para peneliti masalah keagamaan dan lain-lain.
Perkembangan ide-ide Pembaruan di Indonesia
Semangat pembaruan turut mengimbas para pemikir di Indonesia, Ide kebebasan berfikir dipopulerkan oleh Dr. Harun Nasution sekembalinya dari studi di universitas McGill, Canada pada tahun 1963. Ketika menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ia mengajak umat Islam, Khususnya kalangan IAIN agar bersikap kritis terhadap ajaran Islam. Tidak menerima apa adanya dari teks-teks Al Qur’an dan Hadits Nabi, apalagi pendapat para ulama. Menurutnya, banyak ketentuan Al Qur’an yang sudah tidak dapat lagi diterapkan di zaman modern ini, karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman yang berubah dengan cepat. Bila umat Islam ingin maju dan mengejar ketinggalannya dari barat, maka umat Islam harus bersikap kritis pada ajaran-ajarannya, membuang konsep-konsep yang tidak terpakai lagi di zaman ini, meskipun berasal dari nash yang qoth’i .
Kebebasan berfikir yang ditanamkan oleh Harun ini sangat paralel dengan gaya orientalis Barat. Orientalis menurutnya adalah ilmuan yang paling jujur menilai Islam. Buku berjudul "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya" adalah karya Harun yang cukup mengundang kritik. Prof. Dr. H.M. Rasjidi termasuk orang yang cukup keras menantang pemikiran Harun sejak buku itu diterbitkan.
Secara garis pemikiran, ‘murid’ dan penerus Harun adalah Nurcholis madjid. Doktor dari universitas Chicago ini terkenal sejak melontarkan ide-idenya yang kontroversial. Diantaranya pernyataan Nurcholis yang menyebutkan bahwa Islam bukanlah Diin. Menurutnya Islam berarti pasrah sepenuhnya (kepada Allah) sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Islam bukanlah nama dari sebuah agama formal. Oleh karena itu semua agama yang benar disebut Islam. Di Indonesia Nurchalis mendirikan Yayasan Waqaf Paramadina, sebuah lembaga keagamaan yang dengan tegas menyadari keterpaduan antara keislaman dengan keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam yang universal, berkaitan dengan tradisi lokal Indonesia.
Generasi selanjutnya yang sehaluan dengan Nurcholis Madjid antara lain Dawam Raharjo, Djohan Efendi, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Dien Syamsuddin, Masdar F. Mashudi, Atho’ Muzhar dan Usep Fathuddin.
Demikian, sampai saat ini barangkali kaum pembaru masih banyak berbicara. Era pasca modernisme pun tampaknya akan berkelanjutan. Disinilah kewaspadaan kaum muslimin harus lebih ditingkatkan, terlepas dari kepastian adanya rekayasa di balik strategi dan perluasan ide ini. Tak ada jalan lain memang, selain kembali kepada kesadaran yang murni, motivasi yang tulus dan suci untuk senantiasa mencari kebenaran Ilahi.
Wa ilallaahi tur ja’ul umuuri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir Al Qur’an Kontemporer. Al Izzah. Bangil.
2. Abdul Qodim Zallum. 1990. Kaifa Hudimat Al Khilafah. Darul Ummah. Beirut.
3. Daud Rasyid. 1993. "Pembaruan" Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Usamah Press. Jakarta.
4. Ulumul Qur’an. Nomor 3. Vol IV. Th 1993. Ade Armando. Citra Kaum Pembaru Islam Dalam propaganda Media Dakwah.
5. Busthami M. Said. 1995. Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan tajdiduddin. Wala Press. Jakarta.
6. John J. Donohue dan John L. Esposito. 1993. Islam dan Pembaruan. Ensiklopedi masalah-masalah. Rajawali Press. Jakarta.
7. Nurcholis Madjid. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Paramadina. Jakarta.
8. An-Nabhany. 1994. Ad-Daulah Al-Islamiyyah. Darul Ummah. Beirut.
9. Ulumul Qur’an. Nomor 1. Vol V. Th. 1994. Nurcholis Madjid Menjawab : Menatap Masa Depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar