BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode tahlili dan maudhu’i.[1] Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, bila bertitik tolak pada pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu Tahlili, Ijmaliy, Muqaran dan Maudlu’i.
Dari keempat metode tersebut adalah metode tahlili, dan metode maudlu’i. Metode tahlili atau yang dinamai Baqir Al-Sadr sebagai metode tajzi’y, adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
|
Mengingat Al-Qur’an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk dari zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemah misi-misinya. Studi atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum, menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran. Berikut ini penulis akan menjelaskan pembahasan lebih lanjut terhadap metode tafsir tahlili mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur’an, serta merupakan judul makalah yang menjadi bagi penulis untuk mata kuliah ulumul qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
- Bagaimanakah pengertian tafsir tahlili?
- Bagiamanakah pembagian terhadap tafsir tahlili/macam-macamnya?
- Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
- Untuk menjelaskan pengertian tafsir tahlili
- Untuk menjelaskan pembagian terhadap tafsir tahlili/macam-macamnhya
- Untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Metode Tafsir Tahlili
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau Sahabat, atau para Tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.[2]
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah.
B. Macam-Macam Metode Tafsir Tahlili
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bi-al ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi dan tafsir adabi. Di bawah ini dijelaskan secara ringkas ketujuh macam metode tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
|
1. Tafsir bi al-Ma’tsur (Riwayat)
Tafsir bi al-Matsur adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri, dari Rasulullah SAW yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya. Adapun pengertian yang lainnya adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Tafsir bi Al-Ma’tsur melalui dua fase,[3] yaitu :
Pertama, fase periwayatan dengan lisan (syahiyyah). Pada fase ini para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari Nabi dan menyampaikannya kepada sahabat lainnya. Para tabi’in menukil riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan saksama. Fase ini berakhir dengan datangnya fase kedua.
Kedua, pengodifikasian. Pada fase ini riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Pada mulanya riwayat-riwayat penafsiran sejak itu ditulislah kitab-kitab tafsir yang memuat tafsir bi Al-Ma’tsur disertakan bersama tafsir tersebut sanad sampai kepada rasulullah SAW, sahabat, tabi’in.
Setelah itu, datanglah sekelompok mufasir yang mengodifikasikan tafsir bi Al-Ma’tsur tanpa menyertakan sanadnya sehigga tidak jelas mana riwayat yang sahih dan mana yang ternoda. Dampaknya, pembaca merasa ragu sebab boleh jadi riwayat itu hanya dibuat-buat saja dan memang dalam kitab tafsir banyak ditemukan riwayat-riwayat palsu itu. Namun, penelaah serius yang dilakukan para ulama dapat menyingkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.
Tafsir-tafsir bil al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: Ad-Durr Mantsur fi Tafsiri bil Al-Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (karya Ath-Thabari), Ma’alim At-Tanzil (karya Al-Baghawi), dan Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (karya Ibn Katsir).
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi (Pemikiran)
Munculnya corak tafsir ini seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya sesuai bidang kemampuan masing-masing dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Beberapa tafsir bir ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Anwar At-Tanzil wa Asrar At-ta’wil (karya Al-Baidhawi), Mafatih Al-Ghaib (karya Fakhr Razi), Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Ta’wil (karya An-Nasafi), Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-tanzil (karya Al Khazin)
Berikut ini sebuah contoh ayat al-Qur’an yang penafsirannya menggunakan metode analitis dengan menggunakan corak bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi.[4] Pada surah Al-BAqarah ayat 115.
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
3. Tafsir shufi
Tafsir shufi disebut juga dengan tafsir Isyari yaitu penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan bahwa riyadhah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib. Salah satu contoh dalam penafsiran dengan metode shufi[5] adalah Surah An-Nisa’ ayat 1
…. oyÏnºur <§øÿ¯R `ÏiB /ä3s)n=s{Ï%©!$#âNä3/u#qà)®?$# ¨$¨Z9$# ($pkr'¯»t
Dalam pendekatan sufistik terdapat dua pendekatan pemahaman yang berbeda, yaitu pendekatan sufistik nadzhary dan pendekatan sufistik amali. Secara sederhana pendekatan sufistik nadzhary diartikan sebagai model penafsiran yang menekankan pemaknaan kata dengan melihat makna batin sebuah ayat, atau dapat pula diartikan sebagai usaha penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang melakukan justifikasi al-Qur’an terhadap teori-teori sufistik, seperti konsep tentang Khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan wihdat al-wujud. Sedangkan pendekatan sufistik amali adalah pendekatan yang dilakukan menggunakan analisis sufistik atau menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.
Menurut Rosihan Anwar tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
- Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur’an.
- Penafsiran diperkuat oleh dalil syara’ yang lain.
- Penafsirannya tidak bertentangan dengan syara’ atau rasio.
- Penafsiran tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang di kehendaki oleh Allah SWT, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya, ia harus mengakui pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.[6]
Adapun kitab-kitab Tasir Shufi adalah Tafasir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tusturi ( wafat. 289 H ), Haqa’iq At-Tafsir, Karya Al-Allamah As-Sulami ( Wafat 412 H ), Aris Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Quran, Karya Imam Asy-Syirazi ( Wafat 283 H ).
4. Tafsir Falsafi
Pendekatan tafsir falsafi atau pendekatan filosofis adalah upaya-upaya penafsiran dan pemaknaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis. Dalam faktanya, penafsiran ini dilakukan setelah buku-buku filsafat yunani kuno banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu juga dikarenakan banyak tokoh Islam yang berhasil mempelajari dan mengembangkan teori filsafat Yunani kuno yang dirasakan serasi dan sesuai dengan tuntunan agama, atau usaha-usaha penafsiran ayat tertentu dalam Al-Qur’an dengan menggunakan analisis disiplin Ilmu-Ilmu Filsafat.
- Ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat.
- Ada sebagian orang yang merasa kagum atas teori-teori filsafat dan merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah dan antara filsafat dengan agama.
Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi. Untuk menyikapi hal tersebut, ulama Islam terbagi kepada dua golongan yaitu sebagai berikut:
- Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama.[7]
- Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i.[8]
Kitab-kitab tafsir yang mengunakan pendekatan ini, diantaranya adalah:
- Kitab tafsir Fakhr al-Razi al-Masyhur bi tafsir mafatih al-Ghaib aw tafsir al-kabir ad-Din al-Razy.
- Kitab tafsir Anwar at-Tanzih wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baidawi.
Dari sisi kelebihan dari tafsir falsafi adalah ayat-ayat al-Qur’an memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat. Sedangkan dari sisi kekurangannya ada sebagian orang yang merasa kagum dengan teori-teori filsafat dan merasa mampu mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
5. Tafsir Fiqhi
Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an.
Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW., kemudian para shahabat, diantara mereka yang paling terkenal adalah sepuluh orang yaitu ; empat khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibnu Zubair. Baru setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin ( pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin.
Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Qur’an dengan “insting” kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafa al Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya. Mereka pun sepakat atas hal tersebut.jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafazh, seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? ini semua mengingat kepada berfirman Allah:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Q.S Al Baqarah,2: 234
…. 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq … ÇÍÈ
“Dan prempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”(Ath-Thalaq,65:4)
Keadaan seperti ini, sekalipun jarang terjadi, tetapi pada hakikatnya merupakan awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum. Ketika tiba masa empat imam fikih dengan kaidah-kaidah istinbath hukum masing-masing, ditambah lagi berbagai peristiwa dengan membawa persoalan barunya yang banyak dan belum pernah terjadi sebelumnya, maka semakin bertambah pula sisi-sisi perbedaan pendapaat dalam memahami ayat ayat hukum ini. Hal ini di sebabkan perbedaan segi dalalahnya, yang setiap ahli fikih tentu berpegang pada apa yang dipandangnya benar, tetapi bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.
6. Tafsir Ilmi
Ada beberapa pendapat dalam memberikan pengertian, hal ini sangat dipengaruhi subjektif pribadi dari pemberi pengertian. Seperti:
Prof. Amin al-khuli mendefenisikan tafsir ilmi adalah tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi al-Qur’an dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi al-Qur’an. Sedangkan Dr. ’Abdul Majid ’Abdul Muhtasib berpendapat tafsir ilmi merupakan tafsir yang memberikan redaksi al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-istilah sain keilmuan dengan mengarahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai masalah keilmuan dan pandangan filosof dari redaksi al-Qur’an.
Maka oleh karena itu adapun yang sebenarnya bahwa tafsir ilmi adalah tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur’an. Jadi tafsir ini dapat memahami redaksi-redaksi al-Qur’an dalam sinaran kepastian oleh sains modern serta menyingkap kemukjizatannya dari sisi bahwa al-Qur’an telah membuat informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada masa turunnya al-qur’an sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta bahwa al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah SWT, pencipta dan pemilik alam semesta ini.
Timbulnya tafsir ilmi adalah salah satu bentuk keragaman ilmu pengetahuan. Fokus tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat yang Kauniah dengan bertolak dari proposisi pokok-pokok bahasan ayat-ayat al-Qur’an dari kapasistas keilmuan yang mufassir miliki dan penafsiran dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena alam. Adapun contoh dari penafsiran dengan metode tafsir ilmi terdapat ayat al-qur’an surah Ar-Rahman : 19-21, Allah Swt berfirman
Artinya: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing , maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. (Q.S:55: 19-21)
Dari ayat di atas dapat di buktikan dan ditemukan melalui sains bahwa di dasar laut merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak tercampur oleh air laut yang disekitarnya asin. Dengan demikian salah satu pembuktian yang dilakukan oleh sain terhadap ayat-ayat yang kauniah memang benar adanya, dan dengan sains tersebut membuktikan bahwa kemukjizatan ilmiah dari al-Qur’an. Al-Qur’an juga memberikan isyarat terhadap hukum-hukum alam dan fenomena kehidupan dengan gambaran yang sanga meyakinkan, dan tidak mungkin bertentangan dengan penemuan manusia dalam berbagai fase dan tingkatannya. Olh karenanya Al-qur’an disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah, bukan sebaliknya.
7. Tafsir Adabi
Tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur`an dari segi ketelitian redaksi, kemudian menyusun kandungan ayat tersebut dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan al-Qur`an. Menurut M. Quraish shihab unsur pokok tafsir adabi adalah:
- Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur`an
- Mengurikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dengan susunan kalimat yang indah
- Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan al-Qur`an
- Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh:
a. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla
b. Tafsir al-Qur`an olerh syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi
c. Tafsir al-Qur`an al-karim karya Mahmud Syaltut dan
d. Tafsir al-Wadlih karya Muhammad Mahmud Hijazy
Kelebihan dari tafsir adabi adalah;
- Membumikan al-Qur`an dalam kehidupan
- Menjadikan ajran al-Qur`an praktis dan pragmatis
- Mendorong semangat obyektifitas dan rasa persatuan
- Membangkitkan dinamika umat Islam untuk membangun dunia yang lebih cerah
C. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
1. Kelebihan
- Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf.
- Mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya.
- Memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama.
- Mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain.
2. Kekurangan
- Menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[9]
- Faktor subyektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya.
- Terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.[10]
- Masuk pemikiran Israiliyyat.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melaestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Jika menginginkan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka tiada jalan lain kecuali menempuh atau menggunakan metode analitis. Di sinilah terletak salah satu urgensi pokok bagi metode ini bila dibandingkan dengan metode lainnya.
Bahwa ruang lingkup dari penafsiran dengan metode tahlili terdiri dari tujuh pendekatan yaitu, tafsir dengan pendekatan bi al-matsur, pendektan bi al-ra’yi, pendekatan dengan metode shufi, pendekatan dengan metode falsafi, pendekatan dengan metode fiqhi, pendekatan dengan metode ilmi dan pendekatan dengan metode adabi. Dari ketujuh pendekatan tersebut, seorang mufasirin membuktikan suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam menelaah setiap ayat al-Qur’an sesuai dengan kapasitas kemampuan dan tujuan dari suatu fungsi penelaahan yang dituju.
Tidak ada kata lain bahwa tafsir tahlili akan dapat diterima apabila dalam melaksanakan penafsiran, mufasir harus memenuhi criteria-kriteria yang telah ditentukan sebagai syarat dari seorang mufassir. Tentunya setiap penafsiran pasti mempunyai kekurang dan kelebihan, maka dari pada itu menyeleksi dan mengkaji ulang setiap usaha yang dilakukan oleh seorang mufasir dalam memahami ayat –ayat al-Qur’an merupakan suatu keharusan dalam sebuah proses pengetahuan dan pengkajian Ilmu Pengetahuan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang: Gunung Jati, 2000.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999.
Mahmud Basuni Maudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan Dengan Metode Tafsir, Bandung: Pustaka, 1987.
Roshian Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), 72.
[2] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Terj. Suryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 12.
[3] Abdul Hayy Al-Farmawi, ..., hal. 24.
[4] * Contoh Penafsiran bil-Ma’tsur :
Yang dimaksud oleh Allah dengan firmannya ialah, Allah berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan keduanya. Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam, sebab itu dimana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena kita selalu berhadapan dengan Allah. Para pakar ta’wil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat tersebut secara khusus (Asbab an-Nuzul). Ada yang berkata, dalam kasus ini al-Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya Abu Shahih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shahih : Mu’awiyah bin Shahih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari Ibn Abbas katanya : “Ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan Rasulullah pernah melakukan hal yang sama selama 10 bulan, kemudian mereka menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tidak seperti biasanya menghadap kiblat ke Baitul Maqdis kemudian turunlah ayat ini. Menurut ulama lain ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, ketika ketakutan, atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firmannya tadi.
* Contoh Penafsiran bi-Ra’yi :
Maksud ayat tersebut sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut (Asbab an-Nuzul) adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka jangan khawatir, sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini,dan silahkan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Karena dalam firmannya (Allah Maha lapang dan luas rahmatnya), Ia ingin memberikan kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka. Menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kilat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing, setelah pagi hari mereka ternyata keliru menghadap kiblat, lantas menyampaikan masalah itu kepada rasul maka turunlah ayat ini. Bahwa dalam Penafsiran bi al-ra’yi yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran yang rasional. Kemudian penafsiran itu di dukungnya dengan firma Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan dalam tafsir bi al-Ma’tsur dilakukan selama memiliki riwayat, sedangkan bi al-Ra’y tidak sebatas riwayat tetapi lebih kepada pemikiran.
[5] Secara lahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Salah satu tokoh tasawuf Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini merupakan Dzat Tuhan yang hakiki. Lihat. Mahmud Basuni Maudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan Dengan Metode Tafsir, (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 97.
[6] Roshian Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 167.
[7] Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan Al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan Al-Qur’an dan akhirnya ia menolok dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
[8] Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
[9] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), hal. 218-219.
[10] Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), 24.
[11] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman …, hal.219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar