BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sebagai suatu usaha dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab dalam menyiapkan anak didik untuk memahami, menghayati, menyakini, dan mengamalkan ajaran agama Islam sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena secara teoritis pendidikan mengandung pengertian memberi makna kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah.(M. Arifin, 2003: 22). Sedangkan (Muhibbin Syah 1999: 20), menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran PAI (Pendidikan Agama Islam). Misalnya, dengan melengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan tenaga pengajar, dan mengembangkan kurikulum. Kenyataannya masih banyak murid yang menerima pelajaran hanya dengan mendengar, mencatat apa yang diberikan gurunya. Isu yang mengemuka dewasa ini yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang merupakan salah satu perioritas utama kegiatan pendidikan di Nusantara. Hal ini telah diusahakan melalui berbagai kegiatan, diantaranya dengan meningkatkan tenaga pengajar yang mengacu kepada dua macam kemampuan pokok yaitu kemampuan terhadap bidang ajaran dan kemampuan dalam mengelola proses belajar mengajar. Karena pendidikan sejak dulu mempunyai peran untuk membangun kualitas manusia dari generasi ke generasi.
Dewasa ini telah terjadinya kesenjangan antara sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Apa yang dipelajari di sekolah merupakan hal lain yang terjadi di masyarakat sehingga disinyalir sekolah semakin menjauhkan peserta didik dengan dunia nyata dimana ia hidup dan bermasyarakat. Sehingga dunia pendidikan Indonesia pada umumnya masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat, sampai kepada persoalan guru, metode, kurikulum dan lain sebagainya (Abudin Nata, 1997: 5). Kesemuanya itu mengarahkan kepada permasalahan pendidikan.
Guru merupakan faktor penting dalam pendidikan formal, karena itu harus memiliki perilaku dan kemampuan untuk mengembangkan siswanya secara optimal. Guru juga dituntut mampu menyajikan pembelajaran yang bukan semata-mata menstranfer pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, tetapi juga memiliki kemampuan meningkatkan kemandirian siswa. Oleh karena itu guru dituntut sanggup menciptakan kondisi proses pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan berpendapat sesuai perkembangan yang dimiliki, untuk itu guru dituntut meningkatkan kompetensi dirinya.
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005: 10).
Sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan menyadari akan hakikat pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya baik pendidikan umum dan pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia dan mewujudkan cita-cita nasional dalam pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kita (Abdurrahman Shaleh, 2000: 4).
Dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, peranan guru sangat diharapkan, sehingga kegiatan belajar mengajar siswa dapat tercapai. Jadi guru diharapkan dapat melaksanakan tugasnya secara baik sesuai profesinya. Guru sebagai sebuah profesi untuk itu penguasaan berbagai hal sebagai kompetensi dalam melaksanakan tugas harus ditingkatkan. Peningkatan kompentensi itu yaitu dalam proses belajar mengajar antara lain memilih dan memanfaatkan metode belajar mengajar yang tepat.
Guru yang dapat memilih dan memanfaatkan metode mengajar dengan baik merupakan salah satu ciri guru yang efektif sehingga mampu mengembangkan siswa secara professional. Pengembangan siswa dengan mengutamakan siswa yang aktif dengan cara menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa tentu sangat diharapkan suasana itu dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) berarti peranan guru sangatlah besar. Metode yang berfariasi dapatlah kiranya untuk menunjang kegiatan ini.
Tidak heran setiap akhir tahun pembelajaran selalu terdengar berita tentang masyarakat yang selalu mempermasalahkan rendahnya mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Tuntutan standar kelulusan yang harus dicapai siswa menjadi masalah bagi guru maupun lingkungan pendidikan, bahkan sangat mengkhawatirkan bila pada tahun ini peristiwa pengumuman kelulusan seperti tahun lalu. Siswa yang tidak lulus berjumlah tidak sedikit.
Pada umumnya masyarakat kurang menyadari bahwa siswa SMA merupakan siswa yang memulai mencari jati dirinya juga menuju pada perubahan dari masa remaja menuju usia dewasa. Orang tua disamping menyerahkan pendidikan anaknya pada sekolah juga sangat diperlukan pengawasan dan pembinaan lebih lanjut dalam lingkungan rumah tangga. Mereka hendaknya mendapat pendidikan tidak hanya dari sekolah (guru) saja, tetapi juga masing-masing orang tua berperan besar untuk membentuk potensi diri anak. Hal ini tidak dapat hanya menyalahkan guru, tetapi merupakan kerja sama antara pendidik (guru) dan orang tua.
Namun sebagai guru untuk melayani pendidikan sesuai usia anak-anak, maka diperlukan pelayanan guru dengan merancang suatu program pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi siswanya, misalnya dengan merancang program pembelajaran yang menyenangkan karena belajar yang menyenangkan tidak ada lagi batasan dalam diri siswa atau belajar sambil bermain. Kecerdasan siswa dapat berkembang sehingga kompetensi yang telah dimiliki dapat meningkatkan nilai-nilai prestasi yang diharapkan. Selain itu juga dapat meningkatkan kehormatan diri dan motivasi mereka, dengan demikian guru harus memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan.
Gordon sebagaimana dikutip oleh Mulyasa menjelaskan beberapa aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu.
3. Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
4. Nilai (value), adalah suatu standar prilaku yang telah dinyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidang senang, suka tidak suka) atau reaksi terhadap sesuatu rangsangan yang datang dari luar.
6. Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan (Mulyasa, 2004: 37).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, kentrampilan, nilai, sikap dan minat yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak yang dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Adapun implementasi pembelajaran setiap semester mengunakan penggalan silabus sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum (Mulyasa, 2004: 209).
Profesi guru merupakan sebuah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mareka-mareka yang mempunyai kualifikasi, yang merupakan sebagai sebuah tantangan untuk menuntut profesi, sebagaimana upaya pemerintah bersama segenap komponen masyarakat dan organisasi profesi yang telah melahirkan sebuah Undang-Undang yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 059, Tahun Ke-12, 2006: 279).
Diharapkan dapat memberikan spirit kepada kita manusia agar dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan norma atau asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku atau kode etik profesinya, karena pekerjaan yang dilaksanakannya itu, akan dilihat, dinilai dan dievaluasi oleh orang di sekitarnya, tentunya sangat berkaitan dengan kualitas, yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pendidikan yang berkualitas.
Dalam rangka mencapai hasil pendidikan yang berkualitas dalam pembelajaran maka seorang guru perlu pengetahuan tentang metodologi mengajar (macam-macam metode) penyajian pelajaran di muka kelas (Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, 1995: 5). Dalam proses belajar mengajar, guru harus profesional dan memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif, efisien, tepat pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian atau metode mengajar. Metode yang digunakan untuk memotivasi peserta didik agar mampu menggunakan pengetahuan untuk mencegah suatu masalah yang dihadapi ataupun untuk menjawab suatu pertanyaan, akan berbeda dengan metode yang digunakan untuk tujuan agar siswa mampu berfikir dan mengemukakan pendapatnya sendiri di dalam menghadapi segala persoalan (Roestiyah N.K, 2001: 1). Karena metode yang dipakai oleh guru menimbulkan perbedaan bagi proses belajar (Wasty Soemanto, 2003: 115).
Hal ini mendorong agar guru dapat memainkan perannya dalam mengembangkan pendidikan dengan menyediakan materi-materi yang diperlukan serta memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat menemukan prinsip dasar Ketidaktepatan dalam penerapan metode akan menghambat proses belajar mengajar (Abdul Rachman Saleh, 1994: 197). Pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah, namun pendidikan yang berlangsung di kelas menjadi tanggung jawab guru, karena pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis, sarat perkembangan dan kebutuhan manusia yang paling natural (Hasan Asari, 2006: 177). Pemilihan metode mengajar, banyak masalah khususnya yang berkaitan dengan PAI (Pendidikan Agama Islam), mulai dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks. Masalah tersebut sudah selayaknya dapat dipahami dan dipecahkan oleh murid-murid SMA dengan memanfaatkan (mengaplikasikan) konsep-konsep yang ada dalam pelajaran.
Guru-guru yang telah beradaptasi dalam pembelajaran di sekolah dengan sendirinya dapat dikatagorikan sebagai guru yang memiliki sikap profesional dan berkompetensi dalam melaksanakan tugas profesinya, demikian juga dalam melaksanakan proses pembelajaran di masing-masing sekolahnya. Diduga tidak berbeda halnya dengan pembelajaran oleh guru-guru Sekolah Dasar dianggap penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai peranan guru dalam pembelajaran. Dalam hal itulah penulis mencoba membahas satu karya tulis ilmiah dengan judul Peranan Guru Dalam Pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana model pembelajaran yang perlu di implementasikan oleh guru?
2. Bagaimana aspek yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan model pembelajaran yang perlu di implementasikan oleh guru.
2. Untuk mengetahui aspek yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA
D. Metode Pembahasan
Karya Tulis Ilmiah ini termasuk ke dalam kategori penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan literatur sebagai sumber datanya. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan penilaian terhadap suatu tulisan dan pemikiran tokoh yang berkenaan dengan kajian yang diteliti secara jelas, sistematis dan subjektif mungkin tanpa mengurangi keilmiahannya. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan profesi guru dalam pembelajaran sebagai tolak ukurnya.
Penelitian ini juga merupakan penelitian budaya, sebab objek yang diteliti adalah masalah ide dan gagasan seseorang, hal ini sebagaimana disampaikan oleh (Atho’ Mudhar, M 1996: 5). Jika dilihat dari satu sifatnya, penelitian ini berupa deskriptif analisis, sebab pemikiran-pemikiran yang tercetus dalam buku-bukunya akan dianalisa setelah terlebih dahulu mendeskripsikannya.
E. Sistematika Pembahasan
Bahasan-bahasan dalam karya tulis ilmiah ini akan dituangkan dalam empat bab yang saling tekait antara satu dengan lainnya secara logis dan sistematis.
Bab I Pendahuluan sebagai pengantar umum tulisan yang terdiri dari bab satu: latar belakang masalah yaitu: untuk memberikan penjelasan secara akademik, rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegaskan pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terarah. Sedangkan metode, dan sistematika pembahasan dimaksudkan sebagai gambaran yang dilakukan penulis.
Bab II Merupakan kerangka teoritis terhadap implementasi model pembelajaran. Pembahasan ini dimulai Pembahasan ini dengan pengertian model pembelajaran, implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah, dan peran guru meliputi kompetensi guru profesionalisme, meliputi kompetensi guru personal, kompetensi guru sosial, kompetensi guru pedagogik. serta teknik mengajar
Bab III Tentang aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA, yang meliputi aspek psikologi anak, lingkungan dan suasana belajar, bimbingan dan bantuan belajar dari guru baik sebagai motivator, konselor dan evaluator serta teknik belajar dan faktor yang mempengaruhi hasil belajar.
Bab IV Merupakan bab penutup sebagai rumusan kesimpulan dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan di atas, sekaligus menjadi jawaban atas pokok masalah yang telah dirumuskan, kemudian dilengkapi dengan saran-saran sebagai rekomendasi yang berkembang dalam pembahasan karya tulis ilmiah ini.
BAB II
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
A. Pengertian Model Pembelajaran
Sudjana (2001: 81) mengatakan bahwa pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan secara sistematik dan dengan unsur kesengajaan oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. menurut Oemar Hamalik (1995: 57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pendidik untuk memberikan atau mentransfer sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik sesuai dengan yang tertuang di dalam kurikulum. Dalam proses pembelajaran ini dilakukan berbagai pendekatan terhadap anak didik supaya tujuan yang telah ditetapkan dapat berhasil dengan baik dan sukses.
Joyce dan Weil, (1972: 1) mengatakan bahwa model pembelajaran merupakan menyusun kurikulum (perencanaan belajar jangka panjang), merancang bahan-bahan instruksional, dan untuk mengarahkan instruksi di ruang ketas dan tempat-tempat lainnya. Dalam memilih model pembelajaran yang kompleks dan bentuk-bentuk pembelajaran yang “bagus” itu ada beberapa, tergantung pada tujuan pembelajaran.
Istilah model pembelajaran yang dipilih oleh Joyce dan kawan-kawan dalam Nur, (2005: 7) digunakan untuk dua alasan penting: “Pertama, istilah model mempunyai makna yang lebih luas dari pada suatu strategi, metode atau prosedur; kedua, model dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting”. Karena satu model pembelajaran dapat menggunakan sejumlah keterampilan metodologis dan prosedural, seperti merumuskan masalah, mengemukakan pertanyaan, melakukan riset, berdiskusi dan memperdebatkan temuan, bekerja secara kolaboratif, menciptakan karya seni, dan melakukan presentasi.
Menurut Depdiknas (2004: 5):
Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu : rasional teoritik logis yang disusun oleh penciptanya, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Sebagai contoh, model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oieh teori belajar konstruktivis; berpandangan bahwa pembelajaran perlu di mulai dari permasalahan nyata yang pemecahannya memerlukan kerjasama kolaboratif di antara siswa: memandang peran guru sebagai pemandu siswa merinci rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa, dan kemudian memberi contoh bagaimana menggunakan keterampilan dan strategi yang diperlukan agar tugas-tuhas tersebut dapat diselesaikan; dan bergantung pada mempertahankan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan. Dan pengajaran langsung misahiya, merupakan sutu model yang baik untuk membantu siswa mempelajari keterampilan tingkat dasar, tapi model ini tidak cocok untuk mengajarkan konsep-konsep matematika tingkat tinggi.
Model pengajaran menunjukkan suatu pendekatan pembelajaran tertentu yang meliputi tujuannya, sintaksnya, lingkungannya dan sistem pengelolaannya Nur, (2005: 7). Penggunaan model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan bukan pembelajaran lain.
Nur, (2005:10). Menambahkan bahwa suatu sintaks dari suatu model menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran Suatu sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh guru atau siswa, urutan kegiatan-kegiatan tersebut, dan tugas-tugas khusus yang perlu dilakukan oleh siswa. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain mempunyai perbedaan. Misalnya, urutan tahap-tahap kegiatan pada pengajaran langsung dengan pembelajaran berdasarkan masalah.
Setiap model memerlukan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda.setiap pendekatan memberikan peran yang sedikit berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada sistem sosial kelas. (Nur, 2005: 11). Belajar secara kooperatif, misalnya, memerlukan lingkungan belajar yang fleksibei yang meliputi tersedianya meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Sebaliknya, kebanyakan pengajaran langsung dapat berjalan dengan optimal apabila para siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru, yang sering kali berdiri di dekat papan tulis. Sistem sosial menggambarkan peran dan hubungan antara pelajar dan guru serta jenis-jenis aturan atau norma yang mereka coba bangun. Peran kepemimpinan seorang guru sangat berbeda dari satu model ke model yang lain.dalam beberapa model guru dapat berperan sebagai fasilitator, pemberi tugas, pusat informasi, ataupun mengatur situasi.
Tidaklah cukup bagi guru hanya menggantungkan diri pada satu pendekatan atau metode pembelajaran.bermodalkan kemampuan melaksanakan berbagai model pengajaran, guru dapat memilih model yang paling sesuai untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu atau yang sangat sesuai dengan lingkungan belajar atau sekelompok siswa tertentu. Menguasai sepenuhnya model-model pengajaran yang banyak diterapkan merupakan proses belajar seumur hidup. Model pengajaran yang dimaksud ialah pengajaran langsung, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah, diskusi kelas, presentasi, dan pengajaran konsep. Guru yang kreatif akan mengadaptasikan model tersebut agar sesuai dengan situasi belajar yang dihadapi sehingga dapat menjadikan siswa kreatif. Pada dasarnya kreativitas yang dimiliki oleh manusia sudah ada sejak dilahirkan ke dunia yang fana ini. Demikian juga dengan guru, karena kreativitasnya itu maka seseorang dapat mengaktualkan dirinya. Di sini terutama dalam penggunaan media pembelajaran, mengingat peranan guru yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan mental serta pengembangan intelektualitas anak yang dimilikinya.
Tetapi, apabila seorang guru terlalu menyimpang dari suatu sintaks model atau lingkungan belajar yang diperlukan, maka guru tidak lagi menggunakan variasi dari model tersebut, sehingga tujuan pembelajaran yang dikehendaki mungkin sekali tidak akan tercapai.
B. Implementasi Belajar Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Model pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI) tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Secara garis besar PBI terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Menurut Depdiknas (2004: 28): “Pembelajaran berdasarkan masalah bertujuan untuk (a) membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah, (b) belajar peranan orang dewasa yang autentik, dan (c) menjadi pembelajar yang mandiri”. Menurut Ibrahim (2005: 5) menyatakan bahwa FBI didefenisikan: “Sebagai suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik awal untuk mengakui sisi pengetahuan baru”. Sedangkan menurut Arends dalam (Ratumanan, 2004: 145) “Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”. Pada model pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama dimulai dengan tahap memperkenalkan siswa dengan suatu masalah dan diakhiri dengan tahap penyajian dan analisis hasil kerja siswa.
Langkah-langkah melakukan pembelajaran berdasarkan masalah menurut Depdiknas (2004: 29):
Fase Indikator Aktivitas/Kegiatan guru
ke-
1. Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran enjelaskan logistik yang dibutuhkan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa mendefinisikan siswa untuk belajar dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk penyelidikan individual mengumpulkan informasi yang sesuai, maupun kelompok melaksanakan eksperimen, untu mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4. Mengembangkan dan menyajika hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk mengevaluasi proses melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Adapun pelaksanaan pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
a. Tugas-tugas Perencanaan
1. Penetapan tujuan
Pertama kali kita mendeskripsikan bagaimana pembelajaran berdasarkan masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan menyelidiki, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri.
2. Merancang situasi masalah
Beberapa guru dalam pembelajaran berdasarkan masalah lebih suka memberikan siswa suatu keleluasaan dalam memilih masaiah untuk diselidiki karena cara ini meningkatkan motivasi siswa.
3. Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Dalam pembelajaran berdasarkan masaiah siswa dimungkinkan bekerja dengan beragam material dan peralatan, dan pelaksanaannya bisa dilakukan dalam kelas, perpustakaan atau laboratorium, serta di luar sekolah. Oleh karena itu, tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa haruslah menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru yang menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah.
b. Tugas Interaktif
1. Orientasi siswa pada masalah
Siswa perlu memahami bahwa tujuan pembelajaran berdasarkan masalah adaiah tidak untuk memperoleh informasi baru dalam jumah besar, tapi untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah penting dan untuk menjadi pebelajar yang mandiri. Penyajian masalah dalam pembelajaran berdasarkan masalah adaiah dengan menggunakan kej adian yang mencengangkan yang menimbulkan misteri dan suatu keinginan untuk memecahkan masalah.
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada model pembelajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama antara siswa dan sal ing membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama yang dibantu oleh guru. Bagaimana mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok pembelajaran berdasarkan masalah.
3. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
• Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber, siswa diberi pertanyaan yang membuat mereka memikirkan masalah dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk pemecahan masalah. Siswa diajarkan menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang dihadapi serta diajarkan mengenai etika penyelidikan yang benar
• Guru mendorong pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide itu merupakan hal penting sekali dalam tahap penyelidikan pembelajaran berdasarkan masalah. Selama tahap penyelidikan guru member! bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu siswa.
4. Membimbing pembuatan artefak dan memamerkan
Puncak proyek-proyek pembelajaran berdasarkan masalah adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan vidiotape.
5. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Tugas guru pada tahap akhir pembelajaran berdasarkan masalah adalah membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berfikir mereka sendiri, dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan.
Penting untuk guru agar memiliki seperangkat aturan yang jelas supaya pembelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan, menangani tingkah laku siswa yang menyimpang secara tepat dan tepat, memiliki panduan mengenai bagaimana mengelola kerja kelompok. Teknik penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berdasarkan masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa yang merupakan hasil penyelidikan mereka.
C. Implementasi Belajar Berdasarkan Model Pembelajaran Langsung
Model pengajaran langsung atau Direct Instructions (DI) memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang cukup rinci terutama pada analisis tugas. Pengajaran langsung berpusat pada guru, tetapi tetap harus menjamin terjadinya keterlibatan siswa. Jadi Hngkungannya harus diciptakan yang berorientasi pada tugas-tugas yang diberikan pada siswa.
Nur (2005: 16) mengatakan: “Model pengajaran langsung adalah sebuah pendekatan yang mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar dimana pelajaran sangat berorientasi pada tujuan dan lingkungan pembelajaran yang terstruktur secara ketat”. Menurut Slavin dalam Ratumanan, (2004: 121): “Istilah pengajaran langsung digunakan untuk menggambarkan kondisi pengajaran di mana guru menyampaikan atau meneruskan (transmits) informasi secara langsung kepada siswa, menstruktur waktu untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan secara efisien”. Ciri-ciri pengajaran langsung menurut Depdiknas (2004: 8) adalah sebagai berikut: “(1) adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar, (2) sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran, (3) sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pengajaran.
Pada model pengajaran langsung terdapat fase-fase yang penting. Pada awal pelajaran guru menjelaskan tujuan, latar belakang pembelajaran, selain itu guru juga menyiapkan siswa untuk memasuki pembelajaran materi baru dengan mengingatkan kembali pada hasil belajar yang telah dimiliki siswa yang relevan dengan materi yang akaii dipelajari (apersepsi). Setelah itu dilanjutkan dengan presentasi materi ajar atau demonstrasi mengenai ketrampilan tertentu. Kemudian guru memberi umpan balik terhadap keberhasilan siswa.
Fase-fase tersebut menurut Depdiknas (2004 8) adalah:
Fase Peran Guru
1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa Menjelaskan tujuan, mated prasyarat, memotivasi siswa dan mempersiapkan siswa.
2. Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan Mendemonstrasikan ketrampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap
3. Membimbing pelatihan Guru memberikan latihan terbimbing
4. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Mengecek kemampuan siswa dan memberikan umpan balik
5. Memberikan latihan dan penerapan konsep Mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari
Seperti telah dikatakan di atas bahwa pengajaran langsung akan terlaksana dengan haik jika dirancang dengan baik pula.
Ciri utama yang dapat terlihat pada saat melaksanakan pengajaran langsung adalah sebagai berikut:
1. Tugas Perencanaan
a. Merumuskan tujuan pengajaran
b. Memilih isi
Guru haras mempertimbangkan berapa banyak informasi yang akan diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru harus selektif dalam memilih konsep yang diajarkan dengan model pengajaran langsung.
c. Melakukan analisis tugas
Dengan menganalisis tugas, akan membantu guru menentukan dengan tepat apa yang perlu dilakukan siswa untuk melaksanakan keterampilan yang akan dipelajari.
d. Merencanakan waktu
Guru hams memperhatikan bahwa waktu yang disediakan sepadan dengan kemampuan dan bakat siswa, dan memotivasi siswa agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya dengan perhatian yang optimal. Mengenal secara baik siswa-siswa yang akan diajar, akan bermanfaat sekali untuk mengira-ngira alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran
2. Penilaian pada model pengajaran langsung
Berbicara mengenai model pengajaran langsung, tentu tidak lepas dari sistem penilaiannya. Gronlund dalam Depdiknas (2004: 10) memberikan 5 prinsip dasar yang dapat membimbing guru dalam merancang sistem penilaian sebagai berikut:
1. Sesuai dengan tujuan pengajaran.
2. Mencakup semua tugas pengajaran.
3. Menggunakan soal tes yang sesuai.
4. Buatlah soal sevalid dan sereliabel mungkin.
5. Manfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar mengajar berikutnya.
D. Pembinaan Kreativitas Peserta Didik
Menurut Munandar (1987: 67), secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai: "Kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, menemukan suatu gagasan). Kreativitas berasal dari kata kreatif yang artinya bersifat menciptakan, menjadikan suatu perwujudan yang dapat dimanfaatkan atau dinikmati. Sementara itu, menurut John dalam Ibrahim Muhammad (2005: 21) mengatakan istilah kreativitas (kreativity) berasal dari kata latin, “create” yang artinya berbuat (to make) atau dari kata Yunani kreiniene yang artinya berhasil atau mewujudkan (fuil fiil). Sedangkan dalam Bahasa Arab, dalam lisan Al ’Arab, karya Ibnu Manzhur, ditegaskan bahwa arti Ibda adalah menciptakan tanpa contoh artinya menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai
Dalam pada itu Wahyudin (2007: 15), menambahkan, bahwa pembinaan kreativitas peserta didik adalah segala proses yang dilalui dalam rangka menciptakan, mempelajari, dan menemukan sesuatu yang baru serta berguna bagi kehidupan pribadi dan terhadap orang yang dibina (peserta didik didik). Menurut Dr. M. Y. Langeveld yang di setir oleh Ramly Maha (1969: 11), dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Guru” memberi pengertian peserta didik dengan “Animale Educandum and Animale Educabile, yaitu makhluk yang perlu didikan dan makhluk yang dapat di didik”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pembinaan kreativitas peserta didik adalah proses penciptaan sesuatu yang baru terhadap seseorang yang belum berusia 18 tahun atau seseorang yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya setingkat demi setingkat
Ciri yang lebih serius pada orang berbakat adalah ciri seperti idealisme, kecenderungan untuk melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup, serta makna atau arti dari keberadaan mereka. Peserta didik kreatif lebih cepat menunjukkan perhatian pada masalah orang dewasa seperti politik, ekonomi, polusi, kriminalitas, dan masalah lain yang dapat mereka amati di dalam masyarakat, (Munandar 1999: 36).
Ada suatu kebiasaan bahwa peserta didik yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang sangat luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Di samping itu, mereka juga mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Ini sesuai dengan pendapat pakar mengenai ciri-ciri peserta didik kreatif yaitu:
1. Kepercayaan diri
2. Keuletan
3. Apresiasi estetik
4. Kemandirian
5. Kelancaran, kelenturan, dan
6. Orisinalitas dalam berfikir. (Munandar 1999: 11).
Di samping itu, masih dalam konteks yang sama bahwa lebih komplit lagi dari yang disebutkan di atas yaitu ada 10 ciri peserta didik kreatif yang di dapat dari keompok pakar sebagai berikut:
1. Imajinatif
2. Mempunyai prakarsa
3. Mempunyai minat luas
4. Mandiri dalam berfikir
5. Melik (ingin memiliki)
6. Senang berpetualang
7. Penuh energi
8. Percaya diri
9. Bersedia mengambil resiko
10. Berani dalam pendirian dan keyakinan. (Munandar 1999: 36-37).
Kreativitas yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengaktualkan dirinya dalam pergaulan dan juga dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini yag diharapkan agar dengan adanya media pembelajaran atau dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK peserta didik dapat kreatif dan berkembang sesuai yang diinginkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri peserta didik yang mempunyai kreativitas tinggi adalah sebagai berikut:
1. Selalu ingin mengetahui sesuatu yang benar
2. Selalu ingin mengubah sesuatu yang telah ada
3. Mencoba hal-hal yang baru
4. Percaya diri
5. Berani dalam berpendapat.
Semua peserta didik mempunyai potensi untuk kreatif, walaupun tingkat kreativitasnya berbeda-beda. Akibatnya, kreativitas seperti halnya setiap potensi lain, perlu diberi kesempatan dan rangsangan oleh lingkungan untuk berkembang. Titik pandangan baru mengenai kreativitas mendorong diadakannya penelitian untuk menentukanapa saja kondisi lingkungan yang menguntungkan dan membekukan perkembangan kreativitas.
Kreativitas merupakan usaha mempertinggi atau mengoptimalkan kegiatan belajar siswa dalam proses pembelajaran. Pengaruh yang diberikan oleh guru dalam pendekatannya dengan siswa bisa saja lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh kesempatan untuk merangsang siswa dan kalau ingin menghambatnya lebih banyak dari orang tua siswa.
Penelitian dilakukan Hurlock, Elizabeth B, (1999: 67-68) telah menunjukkan bahwa dua faktor penting yang dapat mempengaruhi kreativitas peserta didik, adalah sebagai berikut:
1. Sikap sosial yang ada dan tidak menguntungkan kreativitas harus ditanggulangi. Alasannya, karena sikap seperti itu mempengaruhi teman sebaya, orang tua dan guru serta perlakuan mereka terhadap peserta didik yang berpotensi kreatif. Apabila harus dibentuk kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan kreativitas, faktor negatif ini harus dihilangkan.
2. Kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan kreativitas harus diadakan pada awal kehidupannyua ketika kreativitas mulaiberkembang dan harus dilanjutkan terus sampai berkembang dengan baik. Banyak hal dapat dilakukan untuk meningkatkan kreativitas, seperti memberi dorongan kreatif, waktu untuk bermain dan sebagainya. Peserta didik membutuhkan waktu dan kesempatan menyendiri untuk mengembangkan kehidupan imajinatif yang kaya. Selain hal tersebut mereka juga membutuhkan sarana untuk bermain dan kelak sarana lainnya harus disediakan untuk merangsang dorongan eksperimental dan eksplorasi, yang merupakan unsur penting dari semua kreativitas dengan dukungan lingkungan yang merangsang.
Tentang kondisi lingkungan yang dapat merangsang kreativitas dijelaskan oleh Hurlock bahwa lingkungan rumah dan sekolah harus merangsang kreativitas dengan memberikan bimbingan dan dorongan untuk menggunakan sarana yang akan mendorong kreativitas. Kurangnya rangsangan, sebagai salah satu hambatan yang paling umum terjadi, akan menghambat perkembangan kreativitas dan membekukan kreativitas itu sendiri.
Kurangnya rangsangan dapat disebabkan ketidaktahuan orang tua dan orang lain dalam lingkungan peserta didik tentang pentingnya kreativitas atau mungkin ditimbulkan oleh asumsi bahwa kreativitas merupakan sifat bawaan, sehingga alam akan mengatur perkembangnnya dan karenanya rangsangan tidak diperlukan. Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya.
Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orang tua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin.
Cara pandang sebagaimana disebutkan di atas sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.
Sistem pembelajaran kreatif adalah sistem pembelajaran yang memberikan rangsangan secara seimbang antara otak kiri dan otak kanan sehingga potensi dasar peserta didik terutama kreativitas dan imajinasinya dapat berkembang secara seimbang (Djauharah Bawazir 2001: 2). Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan.
Oleh karena itu, pembinaan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.
Dalam pembinaan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.
Masih dalam kaitannya dengan kreativitas Supriadi (1994: 303) mengatakan ciri kehidupan sekolah yang kondusif untuk tumbuhnya kreativitas keilmuan sebagai metode pembinaan kreativitas peserta didik adalah:
1. Memberikan peluang kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan secara aman. Mengeluarkan pendapat merupakan suatu keinginan yang harus dihargai oleh guru, agar dalam membuat media pengajaran tidak dimonopoli oleh guru. Siswa dilibatkan karena tujuan pembelajaran semuanya adalah untuk keberhasilan siswa.
2. Menghargai prestasi siswa.
3. Menghargai imajinasi siswa.
4. Menghormati keunikan individu siswa.
5. Menyediakan sumber-sumber informasi yang memadai untuk kebutuhan siswa.
6. Mampu mengakomodasikan minat siswa yang beragam.
Melatih kepekaan siswa
Kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapatnya harus dihargai dan bagaimana caranya agar siswa tersebut tidak merasa mempunyai kekurangan dalam menumbuhkan kreativitasnya, dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK tentu saja diharapkan siswa mampu menumbuhkan kreativitasnya dengan maksimal yang terdapat di dalam diri mereka. Seorang peserta didik yang mempunyai kretaivitas tinggi tentunya berbeda dengan siswa yang mempunyai krativitas rendah.
Siswa yang mempunyai kreativitas tinggi tentunya akan mampu menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan tanggap terhadap permasalahan yang muncul. Sedangkan siswa yang berkreativitas rendah terlihat kurang menanggapi permasalahan dalam pembelajaran. Siswa yang kurang kreativitas tidak akan bisa dengan cepat menyelesaikan tugas, dan apabila kesulitan dalam membuat tugas siswa tersebut terlambat reaksinya untuk bertanya kepada orang lain.
BAB III
ASPEK-ASPEK YANG HARUS DIPERHATIKAN
DALAM PEMBELAJARAN
A. Aspek Psikologi Anak
Yang dimaksud aspek psikologi anak adalah kondisi mental, sosial dan emosional siswa pada saat ia mengikuti proses pembelajaran (Sudjana dan Suwariyah, 1991).
Aspek ini harus dikembangkan dengan baik agar siswa beraktifitas dengan kreatif, dan mengembangkan daya nalar dengan baik. Aspek social dan emosional juga penting, karena hubungan interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau siswa dengan lingkungan belajar lainnya. Kesetiakawanan dan kebersamaan harus ditumbuhkan sehingga menjadi manusia yang kokoh dan harmonis.
B. Lingkungan dan Suasana Belajar
Yang dimaksud dengan suasana dan lingkungan belajar adalah keadaan atau suasana pada saat pembelajaran berlangsung (Sudjana dan Suwariyah, 1991). Akan berlangsung baik bila lingkungan dan suasana belajar nyaman, tidak membosankan dan diharapkan siswa berkeinginan untuk kembali belajar. Dalam hal ini guru dapat mempersiapkan kelas atau ruangan lain yang dapat menunjang pembelajaran, misalnya : halaman (taman sekolah, perpustakaan).
Banyak murid SMA jika mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep dasar PAI (Pendidikan Agama Islam), hal ini disebabkan oleh guru yang mengajar atau media yang digunakan tidak lengkap atau tidak sempurna. Seorang guru dalam menjelaskan konsep-konsep PAI (Pendidikan Agama Islam) kepada murid harus menggunakan media seperti Al-Qur’an dan terjemahannya, Buku Paket dan media dan alat lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran. Seharusnya seorang guru SMA di dalam mengajar PAI (Pendidikan Agama Islam) mengarahkan cara-cara berpikir murid ke arah perkembangan sikap ilmiah, agar murid dapat berpikir dan bertindak secara logis, kritis dan kreatif. Oleh karena itu seorang guru PAI (Pendidikan Agama Islam) dituntut untuk memiliki kemampuan keterampilan yang memadai disamping tersedianya buku teks. Sebab peralatan lainnya yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan, jika salah satu dari syarat-syarat tidak terpenuhi maka tidaklah diherankan jika tujuan pendidikan tersebut tidak akan tercapai.
Media sederhana dalam pengajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) banyak terdapat dalam kehidupan sehari-hari, seperti dengan memanfaatkan mesjid dan mushalla sebagai tempat pembelajaran juga halaman sekolah dapat dijadikan sebagai salah satu media pembelajaran.
C. Bimbingan dan Bantuan Belajar dari Guru
Peran guru sebagai pembimbing adalah menjadi tempat bertanya bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, memberi bantuan dengan menunjukkan jalan untuk memecahkan masalah, memperbaiki kesalahan yang dilakukan siswa, memberi dorongan dan motivasi belajar. Dalam kegiatan tersebut, berarti guru harus berada dalam lingkungan proses pembelajaran.
a. Peran Guru Sebagai Motivator
Dari keempat aspek ketrampilan berbahasa di atas yang telah diuraikan, maka peran untuk memotivasi siswa tetaplah diharapkan, misalnya mendorong siswa agar tetap berkonsentrasi pada kegiatan belajar. Selain itu juga mengajak siswa untuk melakukan refleksi diri, misalnya menyisihkan waktu untuk memikirkan siapa sebenarnya diri siswa, apa yang menyebabkan rasa puas, dll.
b. Peran Guru Sebagai Konselor
Peran ini seperti yang telah diuraikan pada aspek bimbingan dan bantuan belajar guru. Hal ini, guru dapat memberi bantuan pada setiap pembelajaran sewaktu-waktu siswa membutuhkan maka bantuan nasehat untuk siswa dapat diberikan. Jadi, selain guru memegang mata pelajaran sebagai guru, juga bertugas melayani konseling.
c. Peran Guru Sebagai Evaluator
Peran sebagai evaluator, bahwa setiap pembelajaran melakukan evaluasi sesuai indikator yang harus dicapai. Dalam mengevaluasi guru hendaknya kreatif dengan berbagai cara mengevaluasi dan memberikan penguatan agar keberhasilan belajar siswa dapat dirasakan. Dalam memberikan penilaian, guru dapat berkreatifitas membuat nilai dengan memberikan tanda bintang yang dibuat atau ditempal pada sebuah karton yang berbentuk buah atau bunga, lalu ditutup. Pada sisi luar digambar raut wajah sesuai isi bintang, misalnya bintang satu wajah sedih, bintang dua wajah tersenyum, bintang tiga senyum agak lebar, dan bintang empat senyum lebar, sedangkan gambar bintang lima tertawa sambil mengangkat tangan.
Cara menyampaikan penilaiannya yaitu setelah para siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan telah ditanggapi oleh kelompok lain. Selanjutnya guru akan menguji keberhasilan anggota kelompok dengan pertanyaan sehubungan dengan materi. Apabila siswa dapat menjawab benar, maka siswa tersebut berhak membuka nilai yang telah ditempel atau digantung pada papan tulis.
d. Teknik Belajar
Pada Prinsipnya mempelajari PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA adalah membekali siswa kemampuan berbagai cara mengetahui dan suatu cara mengerjakan yang dapat membantu siswa untuk memahami ajaran Islam secara mendalam.
Dalam teknik belajar terbagi menjadi enam tipe utama, yaitu (1) Visual Internal, (2) Visual Eksternal, (3) Auditory Internal, (4) Auditory Eksternal, (5) Kinestetik Internal, (6) Kinestetik Eksternal. (Ramly, 2004).
1. Teknik belajar Visual Internal yaitu proses belajar dengan mengoptimalkan penglihatan dan mengeksplorasikan imajinasinya. Cara yang praktis adalah dengan menghidupkan imjinasi tentang hal yang akan dipelajari.
2. Teknik belajar Visual Eksternal yaitu proses belajar dengan mengoptimalkan penglihatan dengan mengeksplorasikan dunia luar dirinya. Cara yang praktis adalah membaca buku dengan tampilan yang menarik, menggunakan grafik dan gambar, pemanfaatan computer, poster, pembubuhan warna-warna yang menarik.
3. Teknik belajar Auditory Internal adalah cara belajar dengan menyukai lingkungan yang tenang. Dalam proses belajar, mengoptimalkan pendengaran dan mengekspolrasikan dunia dalam dirinya. Cara praktis dalam proses belajar ini adalah meluangkan waktu yang tenang untuk memulai belajar dan merenungkan apa yang sudah diketahui.
4. Teknik belajar Auditory Eksternal adalah cara belajar dengan mengoptimalkan pendengarannya dengan mengeksplorasikan dunia luar dirinya. Cara yang praktis dalam proses pembelajarannya adalah membaca dengan suara keras, menggunakan sesi tanya jawab, diskusi, kerja kelompok.
5. Teknik Kinestetik Internal adalah cara belajar dengan menyentuh rasa. Agar belajar efektif proses belajar dengan pemahaman terlebih dahulu, temukan faedah dari aktivitas siswa, gunakan alat Bantu atau dalam bentuk demo. Proses belajar seperti ini cenderung bergantung pada lingkungan.
6. Teknik Kinestetik Eksternal adalah proses belajar dengan mengoptimalkan emosi yaitu dengan beradabtasi terlebih dahulu dengan dunia luar dirinya. Proses belajar yang efektif yaitu dengan kemampuan panca indra, misalnya dengan menggunakan model, memainkan peran dengan membuat peta pikiran.
Berdasarkan teknik atau cara belajar yang bermacam-macam, maka guru dituntut merancang program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan talenta siswa. Guru diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya untuk bersikap mengajar dengan baik. Sikap mengajar tersebut antara lain bersikap demokratis, kreatif, dan inovatif.
Sebagaimana dikemukakan oleh Soelaiman (1979:72) bahwa: “Media pengajaran merupakan suatu alat yang dapat memperjelas atau membuat pelajaran konkrit dan membuat murid lebih terdorong untuk belajar serta membuat situasi pengajaran yang lebih bervariasi dan dapat dipanncing kegairahan murid dalam belajar”.
Guru bersikap demokratis adalah sikap guru yang memberikan persamaan hak dan kewajiban yang sama bagi siswa. Guru yang kreatif adalah guru yang mampu mengembangkan kreatifitas dalam program pembelajaran misalnya menciptakan program pembelajaran baru dengan media yang mutakhir sesuai dengan perkembangan jaman, sedangkan guru yang bersifat inovatif adalah guru yang mampu melakukan pembaharuan dengan kreasi baru, mencoba memecahkan masalah pendidikan dengan cara-cara baru. Apabila sikap guru dapat terwujud, maka akan berimbas pada keberhasilan siswa dalam belajar, siswa aktif, mandiri, kritis dan kompetitif.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian lebih mendalam terhadap peranan guru dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di SMA pada khususnya, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saran yang konstruktif di akhir karya tulis ilmiah ini.
Guru merupakan faktor penting dalam pendidikan formal, karena itu harus memiliki perilaku dan kemampuan mengembangkan dirinya. Pengembangan itu melalui paradigma baru yaitu melakukan perubahan sikap dan peran sebagai guru yaitu berperan sebagai fasilitator, motivator, konselor, dan evaluator. Selain itu juga memiliki perubahan sikap, agar siswa aktif, mandiri, kritis dan kompetitif dalam pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam).
Dalam upaya keberhasilan pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) pada SMA salah satu hal penting yang perlu diperhatikan guru adalah terhadap perencanaan pembelajaran dan pemilihan motede pembelajaran yang sesuai, maka diharapkan dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan efektif sesuai dengan fungsi pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) pada SMA, juga terhadap materi pembelajarannya itu sendiri, sehingga dapat menumbuhkan kreativitas dari peserta didik dalam memahami pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam).
B. Saran-Saran
Kepada guru-guru pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) pada SMA hendaknya dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara profesional dalam pembelajaran dan mampu merancang program pembelajaran yang menyenangkan dengan menerapkan empat aspek ketrampilan secara terpadu. Karena guru harus memiliki kemampuan yang optimal untuk mengembangkan potensi siswa, maka untuk itu perlu pemantapan profesi guru untuk mewujudkan sumber daya manusia unggul dan bermartabat, hal ini dapat dicapai melalui pelatihan-pelatihan guru atau pendidikan untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuannya. Upaya yang lainnya dalam meningkatkan kinerja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja profesional bagi profesinya guru, seperti halnya dengan mengikuti musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), seminar, workshop dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar