BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hery Noer Aly dan Munzier S (2000: 1) mengatakan bahwa pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat, dengan demikian pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan mendidik generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka. Salah satu kunci pokok kemajuan suatu bangsa dan negara adalah terletak pada bidang pendidikan, walaupun apabila dilihat dengan kasat mata dan dengan pemikiran yang awam pendidikan tidaklah penting, namun sebenarnya pendidikan adalah penggerak dan penentu kemajuan suatu bangsa dan negara. Sebagaimana halnya dengan terwujudnya kehidupan masyarakat yang berpegang teguh pada moralitas tentunya melalui pendidikan khususnya pendidikan agama, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdul Rachman Saleh (2000: 61).
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Mulyasa (2005: 10) menyampaikan bahwa ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal. Pelaksanaan proses belajar mangajar berintikan interaksi antara guru dengan peserta didik. Proses belajar mengajar merupakan dua hal yang berbeda, tetapi membentuk satu kesatuan, belajar adalah suatu proses perubahan kegiatan, dan reaksi terhadap lingkungan. Perubahan kegiatan yang dimaksud mencakup pengetahuan kecakapan dan tingkah laku I.I. Pasaribu dan B. Simajuntak (1983: 59). Sedangkan mengajar menurut Abd. Rahman Abror (1993: 136) adalah usaha mengorganisasikan lingkungan dengan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses belajar mengajar.
Pembelajaran sebagaimana dikutip dalam buku Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 10) merupakan jalinan interaksi antara pendidik dengan peserta didik. Untuk tercapainya tujuan pendidikan yang efektif dan efesien, maka semua ini dilakukan melalui proses pembelajaran. Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar
NK, Rustiyah (1990: 182) mengatakan bahwa keberadaan guru dalam masyarakat bangsa manapun, senantiasa menempati posisi sentral, yang berperan penting dan sangat menentukan baik-buruknya kualitas peserta didik, baik dari nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan suatu kaum atau bangsa. Di sini, interaksi antara guru dengan peserta didik dalam berbagai materi kurikulum yang diajarkan akan membentuk daya batiniah bagi anak dengan pola-pola menumbuhkan kesadaran yang digunakan guna merespon berbagai stimulus yang ada di sekelilingnya.
Jadi, yang menjadi tolok ukur keberhasilan proses belajar mengajar adalah mutu dan keberhasilan pendidikan terletak pada sejauhmana “print-out” berupa perilaku/akhlak peserta didik mampu memberi manfaat bagi kehidupan mikro dan makro masyarakat. Di sini dunia pendidikan yang diasuh oleh para guru memberikan saham dan kontribusi utamanya, bagi berseminya kedamaian dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Sementara itu kita melihat sekarang ini adanya suatu problema dalam masyarakat kita dekadensi moral terjadi begitu maraknya, tidak terbatas hanya di kalangan anak-anak dan remaja semata, namun juga yang lebih disayangkan kalangan orang tua seharusnya menjadi contoh teladan dan pembimbing anak-anaknya justru terlibat dalam berbagai perilaku yang memprihatinkan bagi perkembangan bangsa dan agama.
Hal ini dapat kita saksikan lewat media, televisi, terutama pada berbagai informasi kriminal yang terjadi baik di kawasan ibu kota maupun berbagai provinsi di Indonesia. Belum lagi kalau kita telusuri di berbagai media cetak, dimana perbuatan-perbuatan asusila dilakukan oleh kalangan remaja dan bahkan orang tua yang begitu tega menggauli anak kandungnya sendiri.
Berbagai peristiwa yang sangat memprihatinkan tersebut terjadi dalam masyarakat kita di tengah-tengah gencarnya usaha peningkatan kualitas pendidikan, baik berupa perbaikan kurikulum maupun peningkatan kualitas dan kuantitas guru serta pemanfaatan berbagai media/sarana guna mendukung pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Zainal A (2006: 278-279) mengatakan bahwa profesi guru merupakan sebuah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kualifikasi, yang merupakan sebagai sebuah tantangan untuk menuntut profesi, sebagaimana upaya pemerintah bersama segenap komponen masyarakat dan organisasi profesi yang telah melahirkan sebuah Undang-Undang yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Sehingga dapat memberikan spirit kepada guru dan dosen agar dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan kode etik profesinya, karena pekerjaan yang dilaksanakannya itu, akan dilihat, dinilai dan dievaluasi oleh orang di sekitarnya, tentunya sangat berkaitan dengan kualitas, yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pendidikan yang berkualitas.
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian pula dengan pelaksanaan pendidikan agama baik pada sekolah formal maupun non formal mempunyai tujuan tersendiri yang sesuai dengan konsep-konsep pendidikan agama Islam agar kegiatan tersebut dapat terarah dengan baik. Bila pendidikan kita pandang sesuatu proses maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan, suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan, sebagaimana disampaikan oleh M. Arifin (1994: 119).
Saat ini pertanyaan besar yang muncul dalam benak kita adalah apakah lembaga-lembaga kita selama ini telah berhasil mencetak generasi yang berkepribadian dan berakhlak mulia. Sedangkan madrasah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan formal negeri yang berkiprah di bidang pendidikan agama memikul tanggung jawab yang besar untuk memberikan solusi guna mengatasi permasalahan bangsa yang cukup signifikan ini. Dalam hal ini menjadi sorotan utama terhadap kesenjangan moral pendidik, peserta didik dan lulusan-lulusannya.
Dari sekilas ilustrasi di atas, jelaslah terlihat personaliti guru merupakan faktor penentu yang sangat signifikan dalam mewarnai dimensi kapasitas internal manusia (software), bagi terwujudnya tampilan kebudayaan pendidik, peserta didik yang Islami dan terwujudnya masyarakat madani.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka inti permasalahan dari karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep personaliti guru?
2. Bagaimana personaliti guru dan urgensinya dalam pembelajaran?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapatlah ditentukan tujuan pembahasab karya tulis ilmiah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep personaliti guru
2. Untuk mengetahui personaliti guru dan urgensinya dalam pembelajaran
D. Metode Pembahasan
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian perpustakaan (Library Research) yaitu, untuk mendapatkan informasi yang akurat berupa literature-literatur yang ada di perpustakaan dan didukung oleh bahan-bahan bacaan penting lainnya dengan mengolah serta mengemukakan pendapat-pendapat para pakar dalam bidang pendidikan, khususnya yang menyangkut dengan konsep pendidikan Islam.
Penelitian ini juga merupakan penelitian budaya, sebab objek yang diteliti adalah masalah ide dan gagasan seseorang, hal ini sebagaimana disampikan oleh (Atho’ Mudhar, M 1996: 5). Jika dilihat dari satu sifatnya, penelitian ini berupa deskriptif analisis, sebab pemikiran-pemikiran yang tercetus dalam buku-bukunya akan dianalisa setelah terlebih dahulu mendeskripsikannya.
E. Sistematika Pembahasan
Bahasan-bahasan dalam karya tulis ilmiah ini akan dituangkan dalam empat bab yang saling terkait antara satu dengan lainnya secara logis dan sistematis.
Bab I Pendahuluan sebagai pengantar umum tulisan yang terdiri dari bab satu: latar belakang masalah yaitu: untuk memberikan penjelasan secara akademik, rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegaskan pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terarah. Sedangkan metode, dan sistematika pembahasan dimaksudkan sebagai gambaran yang dilakukan penulis.
Bab II Merupakan kerangka teoritis terhadap konsep personaliti guru. Pembahasan ini dimulai dengan pengertian personaliti guru dan karakteristiknya, personaliti guru menurut pakar pendidikan, indikator personaliti guru dan akhlak ideal bagi seorang guru.
Bab III Tentang urgensi personaliti guru kaitannya dengan pembelajaran, yang meliputi pengertian pembelajaran, aspek-aspek penting dalam pembelajaran, urgensi personaliti guru dalam pembelajaran dan pembinaan kreativitas peserta didik.
Bab IV Merupakan bab penutup sebagai rumusan kesimpulan hasil pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan di atas, sekaligus menjadi jawaban atas pokok masalah yang telah dirumuskan, kemudian dilengkapi dengan saran-saran dalam pembahasan karya tulis ilmiah ini.
BAB II
KONSEP PERSONALITI GURU
A. Pengertian Personaliti Guru dan Karakteristiknya
Menurut Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily (2003: 426) personality diartikan kepribadian atau watak yang kuat. Sementara Allport dalam Agus Sujanto dkk (2001: 93-94), juga mendefinisikan personality sebagai kepribadian. Kepribadian yang dia maksudkan di sini adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psychophysis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap sekitar.
Istilah kepribadian dan watak menurut agus Sujanto dkk (2001: 95) sering digunakan secara bertukar-tukar, namun Allport menunjukkan, bahwa biasanya kata watak menunjukkan arti normatif, serta menyatakan bahwa watak adalah pengertian ethis dan menyatakan, bahwa “character is personality evaluated, and personality is character devaluated”. (Watak adalah kepribadian dinilai, dan kepribadian adalah watak tak dinilai).
|
1. Kesatuan terpadu dari segenap karakteristik kognitif, afektif, konatif (perilaku) dan fisik seorang individu sebagaimana yang menampakkan diri dalam keberbedaan pokok dengan orang lain.
2. Karakterisasi atau pola umum dari keseluruhan perilaku individu.
3. Wilayah properti atau bentuk dari keseluruhan pola perilaku individu.
4. Karakteristik terpenting dari seorang individu dalam menentukan penyesuaian sosialnya.
5. (Populer) kualitas-kualitas fisik dan afektif dari seorang individu yang secara terpadu memikat atau mengesankan orang lain.
Henry C.Link dalam Roy Newton (2005: 21), seorang pakar bidang kepribadian berkata, “...saya mendefinisikan kepribadian sebagai jarak-rengkuh seorang individu yang telah mengembangkan kebiasaan dan keterampilannya yang mampu memikat dan melayani orang lain.”
Definisi yang dikemukakan Henry tersebut cukup bagus dan menarik karena menafsirkan kepribadian dan istilah kualitas yang telah dikembangkan oleh sebagian orang dan mungkin diabaikan oleh sebagian yang lain. Bila dilihat lebih jauh dapat disimpulkan bahwa definisi tersebut memberikan tanggung jawab langsung kepada individu atas kepribadian yang buruk dan baik. Kepribadian bukanlah suatu aura yang kasat-mata maupun anugerah khusus dari Tuhan, melainkan lebih merupakan suatu pola kebiasaan yang dapat dipelajari.
Hal baik yang dapat diambil dari definisi tersebut juga karena kepribadian ditafsirkan dalam istilah-istilah hubungan sosial. Dengan demikian kepribadian bukanlah sekedar yang kita miliki, melainkan juga apa yang dipikirkan orang lain mengenai kita. Dengan kata lain ada hubungan interaksi antara individu dengan masyarakat dan lingkungannya dalam masalah kepribadian ini dan setiap masyarakat boleh jadi memiliki standar kepribadian yang berbeda sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita terhadap kepribadian, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat mencerminkan suatu kepribadian. Roy Newton (2005: 22) berpendapat bahwa kepribadian tersusun dari sifat-sifat fisik, bakat, sikap-sikap dan cara berperilaku berikut ini:
1. Penampilan. Hal ini meliputi tinggi tubuh, sisi-sisi tubuh, perawakan, warna dan tekstur rambut, ukuran tangan, kaki, gigi dan mungkin sejumlah sifat fisik lainnya.
2. Cara berpakaian. Hal ini meliputi kerapian, keserasian, kebersihan dan gaya baju, topi, sepatu serta aksesoris lainnya.
3. Cara berbicara. Di sini yang dimaksud adalah nada, kualitas dan volume suara.
4. Cara berjalan. Hal ini meliputi kewibawaan dan ketenangan tubuh, langkah, gerak-gerik, cara duduk dan berdiri.
5. Cara bersikap secara emosional. Hal ini meliputi kemampuan menjaga keseimbangan emosional yang sehat sepanjang waktu, menghindari kekakuan pada satu sisi dan tingkah laku histeris pada sisi yang lain.
6. Cara bersikap secara intelektual. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari suatu fakta tanpa memasukkan tradisi atau kepercayaan buta yang memberi pengaruh secara berlebihan. Akan tetapi lebih menggunakan otak dalam berpikir bukan perasaan.
7. Filosofi hidup. Hal ini meliputi kode etik dan moralitas pribadi, konsepsi nilai-nilai dasar dalam kehidupan dan dalam pengertian yang lebih luas sebagai perkembangan rohani.
8. Hal-hal yang dapat dilakukan. Ini merupakan faktor daya tarik yang biasanya dilewati oleh sebagian besar analisis. Sejumlah aktifitas yang kita lakukan dan diterima oleh masyarakat secara langsung menjadi suatu poin dari daya tarik potensial dan sebagai alat untuk mengembangkan kepribadian.
Dari beberapa faktor kepribadian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian bukanlah suatu yang diwariskan secara genetik. Akan tetapi lebih merupakan suatu hasil belajar yang tercipta atas berjuta-juta pengalaman, kesan-kesan yang tak terhitung serta proses pertumbuhan dan perkembangan suatu individu.
Selain itu dapat dikatakan pula bahwa personaliti (kepribadian) merupakan keseluruhan tingkah laku yang tampak dalam ciri khas seseorang. Setiap individu memiliki kepribadian yang unik dan berbeda dengan kepribadian individu yang lain. kepribadian merupakan bagian dari individu yang paling mencerminkan atau mewakili dirinya. Ia tidak sekedar membedakan dengan individu yang lain, tetapi yang terpenting adalah bahwa itulah ia sebenarnya.
Untuk mengubah suatu kepribadian dari kurang baik menjadi lebih baik bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal ini dapat dilakukan namun membutuhkan waktu, kesabaran dan bimbingan. Adapun guru dalam pengertian yang sederhana adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 31) adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di surau/musalla, di rumah, dan sebagainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina peserta didik, baik secara individu maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah. Sementara karakteristik personaliti guru sebenarnya banyak sekali yang harus penulis bahas, namun di sini penulis hanya membahas yang penulis anggap paling pokok dan mendasar, di antaranya ialah:
1. Penghayatan nilai-nilai kehidupan (values)
Sebagai manusia, guru akan berpegang pada nilai-nilai tertentu, yang akan
menampakkan diri dalam pembicaraan dan tingkah laku di sekolah, misalnya tanggung jawab di dalam bertindak, kebanggaan atas hasil jerih payah diri sendiri, kerelaan membantu sesama dan pengorbanan diri, dan lain sebagainya. Di samping hal-hal yang terdapat dalam kurikulum pengajaran dan buku-buku pelajaran, gurupun menyampaikan pesan-pesan kepada siswa, yang menyangkut nilai-nilai kehidupan. Maka proses pembelajaran dan guru sebagai pendidik merupakan komponen yang sangat menentukan terhadap keberhasilan yang ingin dicapai bersama sebagaimana pendapat Piet A.Sahertian (2000: 1).
Selanjutnya, bagaimana pandangan dan sikap guru terhadap hubungan antara wewenang penguasa dan ketaatan bawahan, antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab pribadi, antara bekerja dan bersantai, antara konflik antar pribadi dan kerukunan antar sesama, antara kebebasan beragama dan kerukunan agama dan lain sebagainya, akan terselip dalam cara dia mengajar dan bergaul dengan siswa. Setiap guru mempunyai pandangan tertentu mengenai baik tidaknya keteraturan hidup, kejujuran, pembauran, kekayaan, kompetisi atau persaingan, kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan seterusnya, selaras dengan peringkat nilai yang dipegang sebagai pedoman hidup.
Selain itu, guru mempunyai pandangan mengenai pandangan pembagian tugas antara pria dan wanita dalam kehidupan masyarakat. Semua itu merupakan program pendidikan tersendiri, yang tersembunyi dan jarang dirumuskan secara eksplisit, namun meresapi pembicaraan dan tingkah laku guru. Oleh sebab itu, W. S. Winkel SJ.(1996: 195) menyampaikan bahwa sebuah lembaga pendidikan yang ingin menciptakan suasana lingkungan sekolah yang khas, kerap mengharuskan calon guru untuk diwawancarai terlebih dahulu, supaya dapat ditentukan apakah pandangan terhadap kehidupan dan penghayatan nilai-nilai kehidupan dari calon itu sehaluan dengan pandangan dan nilai-nilai dasar yang dibina oleh lembaga tersebut.
2. Motivasi Kerja
Motivasi merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi jalannya proses pembelajaran di sekolah. Dalam pengertian yang lebih luas motivasi adalah sebuah nilai dan hasrat untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap anak pada dasarnya dilahirkan mempunyai untuk belajar. Hal ini dikarenakan itu merupakan sebuah karakter spesies manusia.
Mc Donald (1959: 31) merumuskan, bahwa “motivation is an energy change within the person characterized by affective arousal and antisipatory goal reaction”. Artinya adalah “motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan”. Sardiman (2001: 101) menjelaskan bahwa, motivasi dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar sehingga akan meningkatkan prestasi belajar anak di sekolah. Selanjutnya, motivasi selalu berkaitan dengan kebutuhan, seperti kebutuhan untuk menyenangkan orang lain, kebutuhan untuk mencapai hasil, kebutuhan untuk mengatasi kesulitan. Selanjutnya juga diperlukan aktivitas dorongan, sebab pada prinsipnya belajar itu adalah berbuat (learning by doing).
Motivasi menurut Daryanto (t.th: 440) merupakan alasan atau dorongan berasal kata motif yaitu sebab yang menjadi dorongan atau yang menimbulkan semangat. Dalam pengertian yang lain sebagaimana disampaikan oleh Sardiman A.M. mengatakan motivasi adalah daya penggerak yang telah menjadi aktif. Sedangkan menurut Mc. Donald sebagaimana dikutip oleh Sardiman (2001: 101) mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan, yang mengandung tiga elemen penting, yaitu:
- Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia.
- Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa feeling, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
- Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini menyangkut persoalan kebutuhan.
Dengan ketiga elemen di atas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu sebagi sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua itu didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan.
Temuan-temuan baru dalam bidang psikologi kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan di bidang ilmu pendidikan pada gilirannya mengubah pandangan tersebut. Pandangan baru berpendapat, bahwa tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu. Perbuatan belajar akan berhasil bila berdasarkan motivasi pada para siswa. Siswa mungkin dipaksa untuk melakukan perbuatan, tetapi ia tidak mungkin dipaksa untuk menghayati perbuatan itu sebagaimana mestinya. Oemar Hamalik (2003: 105) mengatakan bahwa guru dapat memaksakan bahan pelajaran pada siswa, tetapi tidak mungkin memaksakannya untuk belajar dalam arti sebenarnya. Ini berarti, tugas guru yang paling berat adalah berupaya agar siswa mau belajar dan memiliki keinginan belajar terus menerus.
Ketika seseorang guru bekerja terutama untuk mendapatkan penghasilan semaksimal mungkin atau untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perkembangan peserta didik, pasti akan mewarnai tingkah laku guru itu, entah hal itu disadari atau tidak. Untuk lebih jelasnya terhadap kedua tipe tersebut sebagaimana uraian berikut.
Guru yang pertama, memikirkan masalah pendapatan, memandang pekerjaannya sebagai sarana melulu untuk mendapatkan uang, bahkan sekolah dipandang sebagi organisasi penjamin kesejahteraan guru. Sementara guru itu akan cenderung supaya penerimaan siswa baru ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi, cenderung memberikan pelajaran tambahan sebanyak mungkin yang dihonorkan tersendiri, dan mengajar di beberapa sekolah lain sebagai tenaga tidak tetap sebagai konsekuensinya adalah bahwa guru itu tidak sempat mempersiapkan pelajaran dengan baik, apalagi memeriksa pekerjaan siswa. Membaca literatur profesionalpun tidak pernah sempat, sehingga satu-satunya cara mendorong guru itu meningkatkan profesionalitasnya ialah dengan mengharuskannya mengikuti penataran.
Guru yang kedua, yang bercita-cita menyumbangkan keahliannya demi perkembangan siswa, akan memandang pekerjaannya sebagai sumber kepuasan pribadi, biarpun tidak terlepas dari tantangan. Dia akan rela mengorbankan waktu dan tenaga lebih banyak daripada yang dituntut secara formal; sikap ini akan diketahui dan dihargai oleh siswa. Dia pun akan berusaha meningkatkan profesionalitasnya tanpa disuruh mengikuti penataran, karena dia tidak ingin bersikap minimalis dalam menghayati tugas pendidikan yang diserahkan kepadanya.
Menyangkut dengan masalah pendapatan tentu dipikirkan juga, tetapi hal itu tidak mewarnai pikiran dan tindakan secara dominan, sampai mengaburkan cita-cita keguruan. Bagaimanapun juga, motivasi kerja guru tidak akan tinggal persoalan batin saja, dan pasti akan tercetus dalam kata-kata dan perbuatan. Semua ini menyampaikan pesan kepada siswa, apakah kepentingan mereka menjadi prioritas ataukah kepentingan guru sendiri hal ini sebagaimana disampaikan oleh W. S. Winkel SJ.(1996: 196).
Berpedoman kepada penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dirincikan kesimpulannya sebagai berikut:
a. Motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya kegiatan belajar siswa. Belajar tanpa motivasi sulit untuk mencapai keberhasilan secara optimal.
b. Pembelajaran yang bermotivasi pada hakikatnya adalah pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, dorongan, motif, minat yang ada pada diri siswa.
c. Penggunaan azas motivasi merupakan suatu esensial dalam proses pembelajaran. Motivasi merupakan bagian integral dari pada prinsip-prinsip pembelajaran. Motivasi menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
3. Sifat dan Sikap
Definisi sikap menurut Thurstone yang dikutip Azwar (2000: 3), adalah derajat afektif positif atau negatif yang dikaitkan dengan suatu obyek psikologis. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Dari sini sikap dapat digambarkan sebagai kecenderungan subyek merespon suka atau tidak suka terhadap suatu obyek. Dalam bahasan ini yang berperan sebagai subyek yaitu guru dan obyek yaitu pekerjaan yang diemban para guru. Kartono (1994: 297) berpendapat sikap merupakan organisasi dari unsur-unsur kognitif, emosional dan momen-momen kemauan yang khusus dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lampau, sehingga sifatnya dinamis dan memberikan pengarahan pada setiap tingkah laku pegawai.
Thursthoen dalam Walgito (2001: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz dalam Azwar (2000: 5), menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2000: 15). Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.
Oleh karena itu, ciri-ciri itu merupakan prasyarat untuk dapat berkembang sebagai pendidik, tetapi belum bisa memberikan jaminan bahwa seseorang akan menjadi guru yang efisien dan efektif dalam pengelolaan pengajaran. Untuk itu dibutuhkan jauh lebih dari beberapa sifat dan sikap tertentu. Sehingga dengan adanya respon dan sikap positif ini maka motivasi kerja yang dibangun dapat terlaksana dengan baik.
B. Personaliti Menurut Pakar Pendidikan
Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai dengan ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Apalagi kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan.
Menurut pakar pendidikan Zakiah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah (2000: 40) mengatakan bahwa personaliti (kepribadian) yang sesungguhnya adalah abstrak (ma’nawi), sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara bergaul, berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Alexander Meikeljohn dalam Syaiful Bahri Djamarah (2000: 41) mengatakan, tidak seorangpun yang dapat menjadi seorang guru yang sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya sebagai bagian dari peserta didik yang berusaha untuk memahami semua peserta didik dan kata-katanya. Seorang guru yang dapat memahami tentang kesulitan peserta didik dalam hal belajar dan kesulitan lainnya di luar masalah belajar, yang bisa menghambat aktivitas belajar peserta didik, maka guru tersebut akan disenangi peserta didiknya.
Selanjutnya, tokoh yang lain mengatakan sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, di antaranya:
1. Mark A. May
Apa yang memungkinkan seseorang berbuat efektif atau memungkinkan seseorang mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Dengan kata lain, kepribadian adalah nilai perangsang sosial seseorang.
2. L. P Thorp
Sinonim dengan pikiran tentang berfungsinya seluruh individu secara organisme yang meliputi seluruh aspek yang secara verbal terpisah-pisah seperti: intelek, watak, motif, emosi, minat, kesadaran untuk bergaul dengan orang lain (sosialitas) dan kesan individu yang ditimbulkan pada orang lain serta efektifitas sosial pada umumnya.
C. Indikator Personaliti Guru
Menurut Abin Syamsuddin Makmun, adapun aspek-aspek personaliti (kepribadian) yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah sebagai berikut:
1. Karakter
Konsekuen tidaknya dalam mematuhi aturan etika perilaku, atau teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat, konsisten tidaknya tindakannya dalam menghadapi situasi lingkungan yang serupa atau berbeda-beda. Guru perlu mendidik dirinya sendiri agar memiliki kepribadian yang unggul dan bernilai. Bayangkan ada guru yang, setiap berhadapan dengan anak didiknya, memancarkan kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan. Kewibawaan, kehormatan, dan keteladanan inilah yang akan membuat seorang guru dapat diterima oleh lingkungannya. Pertama, dia dihormati dan dihargai oleh murid-muridnya dan diterima sebagai orang yang akan mengarahkan murid-muridnya menjadi manusia mulia (bermoral luhur). Kedua, dia diakui kehebatannya oleh rekan-rekan guru lainnya dan senantiasa mau menolong, membagikan pengalamannya, serta memotivasi rekan guru lain untuk meningkatkan diri. Ketiga, dia dapat menjadi mitra yang baik terhadap pengelola sekolah, terutama kepala sekolah, dan juga dengan orangtua murid, aktivis pendidikan, pemerintah, dan lain-lain.
2. Temperamen
Cepat atau lambatnya mereaksi (response, bukan masalah penyelesaian tugas pekerjaan saja) terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungannya (sensitivity and responsiveness).
3. Sikap (Attitude)
Positif atau negatif atau ambivalensi sambutannya terhadap objek-objek (orang, benda, peristiwa, norma atau nilai etis, estetis, dan sebagainya).
4. Stabilitas Emosional (Emotional stability)
Mudah tidaknya tersinggung, atau marah atau menangis atau putus asa. Seorang guru perlu mengasah kecerdasan emosinya. Emosilah yang mampu memberi arti--bukan arti sekadar arti sebagaimana tertulis di buku, namun arti yang membumi dimana mampu menjadikan sang diri terus bersemangat untuk memperbaiki diri. Masalah kecerdasan emosi ini memang sudah sering dibicarakan. Namun, jarang pembicaraan itu menyentuh bidang-bidang penting dalam sebuah kehidupan, apalagi mengaitkannya dengan arti kehidupan sejati.
5. Tanggung Jawab (Responsibility)
Menerima atau cuci tangan atau melarikan diri dari resiko tindakan dan perbuatannya. Pengadaptasian antara konsep diri dan model manusia muslim dilakukan dengan pelatihan dan pembiasaan praktis yang sistematis untuk mengelola hidup dan merencanakan masa depan dengan penuh tanggung jawab agar hidup lebih bermakna dan bermanfaat.
6. Sosialibitas (socialibity)
Keterbukaan atau ketertutupan dirinya serta kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan menyadari akan hakikat pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya baik pendidikan umum dan pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia dan mewujudkan cita-cita nasional dalam pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kita.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aspek-aspek personaliti guru saling keterkaitan antara satu dengan lainnya.
D. Akhlak Ideal bagi Seorang Guru
Humadi Tatapangarsa (1991: 147) mengatakan bahwa pengertian akhlak merupakan budi pekerti, kelakuan, watak, tabi`at. Akhlak (ﻖ ﺧﻼ أ ) terbagi ke dalam dua bagian, yaitu, pertama akhlak yang baik (ﻩ ﻤﺤﻤﺪ ﻖ ﺧﻼ أ ) seperti jujur, lurus, berkata benar, menempati janji dan sebagainya, dan yang kedua : akhlak jahat atau tidak baik (ﻤﻪ ﻤﻮ ﻤز ﻖ ﺧﻼ أ ) seperti khianat, berdusta, melanggar janji dan sebagainya. M. Nasir Budiman (2001: 142) menambahkan bahwa akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku. Dalam pandangan yang lain seperti Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada (2006: 16) beliau mengatakan bahwa sesungguhnya, akhlak merupakan hal yang paling penting, paling utama, mencakup seluruh akhlak dalam Islam, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menjelaskan semua akhlak adalah akhlak terhadap Allah dan Rasulullah saw. Itulah makna agama yang sesungguhnya.
Untuk membentuk akhlak yang baik adalah dengan cara mendidik dan membiasakan akhlak yang baik tersebut, sejak dari kecil sampai dewasa, bahkan sampai di hari tua, dan sampai menjelang meninggal. Sebagaimana kita disuruh menuntut ilmu dari sejak ayunan sampai ke liang lahat. Dan untuk memperbaiki akhlak yang jahat dengan mengusahakan lawannya, misalnya bakhil sifat yang jahat, diperbaiki dengan mengusahakan lawannya yaitu berusaha menjadi pemurah dengan memberikan derma atau sedekah. Meskipun pada awalnya amat berat, tetapi dengan berangsur-angsur dapat menjadi ringan dan mudah. Semua itu dapat dilakukan dengan latihan dan perjuangan secara terus menerus.
Anwar Masy`ari (1990: 33) berpendapat bahwa akhlak yang baik tidak dapat dibentuk di masyarakat hanya dengan pelajaran, dengan instruksi-intruksi dan larangan-larangan. Sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan-keutamaan itu tidak cukup seorang guru dengan mengatakan: “kerjakan ini dan jangan kerja itu”. Menanamkan sopan santun yang berbuah, sangat memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses melainkan harus diusahakan dengan contoh dan teladan yang baik.
Kemorosotan akhlak bisa terjadi pada semua lapisan masyarakat. Meskipun demikian, pada lapisan pelajarlah kemerosotan akhlak itu lebih nyata terlihat. Kemerosotan akhlak di kalangan pelajar itu sungguh sangat mengkhwatirkan dan meresahkan para pemerhati pendidikan. Sebagai akibatnya, seperti yang dapat kita saksikan, banyak rumah tangga yang kehilangan ketentraman, bahkan, ada pejabat yang harus meninggalkan jabatannya disebabkan oleh perbuatan para anaknya, sebagaimana pendapat Ahmad Tafsir (1996: 1).
Dengan demikian, akhlak itu bukan semata-mata terbatas pada sopan santun dan pergaulan yang baik, sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang awam, sekalipun masalah sopan santun dan pergaulan menurut prinsip yang sangat penting bagi kepribadian seorang muslim. Dan juga akhlak itu tidak terbatas pada pengendalian diri untuk tidak menyukai atau meminum-minuman keras, sebagaimana yang dipahami oleh orang lain, tetapi lebih dari itu akhlak mencakup semua lapisan kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Oleh karena demikian aspek yang paling penting dalam kehidupan Islam adalah aspek akhlak, dan aspek tersebut mendapat perhatian yang sangat ditekankan, mengingat aspek akhlak merupakan titik awal guna upaya mengadakan perubahan masyarakat. Namun di antara akhlak kepada Allah dan Rasulullah, sebagaimana dikutip oleh Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, di antaranya: memurnikan ibadah kepada Allah; meliputi ikhlas kepada Allah, menghindari riya baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, memberantas bentuk syirik dan riya’; Mengangungkan Allah swt, Seorang mukmin yang percaya kepada sifat ketuhanan Allah atas dunia dan isinya.
Ketika ia melihat keagungan, kebesaran, kekuasaan Allah yang tampak dalam ciptaan-Nya. Saat itu dia telah yakin bahwa Allah bersifat sempurna dan jauh dari segala kekurangan. Dia pun menyadari bahwa, semua makhluk tidak akan bisa mengetahui hakikat-Nya, hatinya akan dipenuhi rasa takjub dan kagum yang tidak terkira. Semua makhluk akan terlihat kecil. Dia merasa bahwa tiada yang agung, hebat, dan besar selain dari Allah. Keyakinan semacam itu akan memberikan beberapa hikmah bagi seorang mukmin, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Dia bersegera melakukan ketaatan dan kebaikan.
b. Menjauhi segala bentuk kemaksiatan, kejahatan, dan kerusakan.
c. Tidak akan merasa takut di hadapan sesama makhluk dan selalu berpegang pada kebenaran di hadapan orang yang disenangi atau yang disegani.
BAB III
URGENSI PERSONALITI GURU KAITANNYA DENGAN
PEMBELAJARAN
A. Pengertian Pembelajaran
Sudjana (2001: 81) mengatakan bahwa pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan secara sistematik dan dengan unsur kesengajaan oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. menurut Oemar Hamalik (1995: 57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pendidik untuk memberikan atau mentransfer sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik sesuai dengan yang tertuang di dalam kurikulum. Dalam proses pembelajaran ini dilakukan berbagai pendekatan terhadap anak didik supaya tujuan yang telah ditetapkan dapat berhasil dengan baik dan sukses.
Joyce dan Weil, (1972: 1) mengatakan bahwa model pembelajaran merupakan menyusun kurikulum (perencanaan belajar jangka panjang), merancang bahan-bahan instruksional, dan untuk mengarahkan instruksi di ruang ketas dan tempat-tempat lainnya. Dalam memilih model pembelajaran yang kompleks dan bentuk-bentuk pembelajaran yang “bagus” itu ada beberapa, tergantung pada tujuan pembelajaran.
|
Menurut Depdiknas (2004: 5):
Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu : rasional teoritik logis yang disusun oleh penciptanya, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Sebagai contoh, model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oieh teori belajar konstruktivis; berpandangan bahwa pembelajaran perlu di mulai dari permasalahan nyata yang pemecahannya memerlukan kerjasama kolaboratif di antara siswa: memandang peran guru sebagai pemandu siswa merinci rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa, dan kemudian memberi contoh bagaimana menggunakan keterampilan dan strategi yang diperlukan agar tugas-tuhas tersebut dapat diselesaikan; dan bergantung pada mempertahankan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan. Dan pengajaran langsung misahiya, merupakan sutu model yang baik untuk membantu siswa mempelajari keterampilan tingkat dasar, tapi model ini tidak cocok untuk mengajarkan konsep-konsep matematika tingkat tinggi.
Model pengajaran menunjukkan suatu pendekatan pembelajaran tertentu yang meliputi tujuannya, sintaksnya, lingkungannya dan sistem pengelolaannya Nur, (2005: 7). Penggunaan model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan bukan pembelajaran lain.
Nur, (2005:10). Menambahkan bahwa suatu sintaks dari suatu model menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran Suatu sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh guru atau siswa, urutan kegiatan-kegiatan tersebut, dan tugas-tugas khusus yang perlu dilakukan oleh siswa. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain mempunyai perbedaan. Misalnya, urutan tahap-tahap kegiatan pada pengajaran langsung dengan pembelajaran berdasarkan masalah.
Setiap model memerlukan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda.setiap pendekatan memberikan peran yang sedikit berbeda kepada siswa, pada ruang fisik, dan pada sistem sosial kelas. (Nur, 2005: 11). Belajar secara kooperatif, misalnya, memerlukan lingkungan belajar yang fleksibei yang meliputi tersedianya meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Sebaliknya, kebanyakan pengajaran langsung dapat berjalan dengan optimal apabila para siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru, yang sering kali berdiri di dekat papan tulis. Sistem sosial menggambarkan peran dan hubungan antara pelajar dan guru serta jenis-jenis aturan atau norma yang mereka coba bangun. Peran kepemimpinan seorang guru sangat berbeda dari satu model ke model yang lain.dalam beberapa model guru dapat berperan sebagai fasilitator, pemberi tugas, pusat informasi, ataupun mengatur situasi.
Tidaklah cukup bagi guru hanya menggantungkan diri pada satu pendekatan atau metode pembelajaran.bermodalkan kemampuan melaksanakan berbagai model pengajaran, guru dapat memilih model yang paling sesuai untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu atau yang sangat sesuai dengan lingkungan belajar atau sekelompok siswa tertentu. Menguasai sepenuhnya model-model pengajaran yang banyak diterapkan merupakan proses belajar seumur hidup. Model pengajaran yang dimaksud ialah pengajaran langsung, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah, diskusi kelas, presentasi, dan pengajaran konsep. Guru yang kreatif akan mengadaptasikan model tersebut agar sesuai dengan situasi belajar yang dihadapi sehingga dapat menjadikan siswa kreatif. Pada dasarnya kreativitas yang dimiliki oleh manusia sudah ada sejak dilahirkan ke dunia yang fana ini. Demikian juga dengan guru, karena kreativitasnya itu maka seseorang dapat mengaktualkan dirinya. Di sini terutama dalam penggunaan media pembelajaran, mengingat peranan guru yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan mental serta pengembangan intelektualitas anak yang dimilikinya.
Tetapi, apabila seorang guru terlalu menyimpang dari suatu sintaks model atau lingkungan belajar yang diperlukan, maka guru tidak lagi menggunakan variasi dari model tersebut, sehingga tujuan pembelajaran yang dikehendaki mungkin sekali tidak akan tercapai.
B. Aspek-aspek Penting dalam Pembelajaran
Dalam teknik belajar terbagi menjadi enam tipe utama, yaitu (1) Visual Internal, (2) Visual Eksternal, (3) Auditory Internal, (4) Auditory Eksternal, (5) Kinestetik Internal, (6) Kinestetik Eksternal. (Ramly, 2004).
1. Teknik belajar Visual Internal yaitu proses belajar dengan mengoptimalkan penglihatan dan mengeksplorasikan imajinasinya. Cara yang praktis adalah dengan menghidupkan imjinasi tentang hal yang akan dipelajari.
2. Teknik belajar Visual Eksternal yaitu proses belajar dengan mengoptimalkan penglihatan dengan mengeksplorasikan dunia luar dirinya. Cara yang praktis adalah membaca buku dengan tampilan yang menarik, menggunakan grafik dan gambar, pemanfaatan computer, poster, pembubuhan warna-warna yang menarik.
3. Teknik belajar Auditory Internal adalah cara belajar dengan menyukai lingkungan yang tenang. Dalam proses belajar, mengoptimalkan pendengaran dan mengekspolrasikan dunia dalam dirinya. Cara praktis dalam proses belajar ini adalah meluangkan waktu yang tenang untuk memulai belajar dan merenungkan apa yang sudah diketahui.
4. Teknik belajar Auditory Eksternal adalah cara belajar dengan mengoptimalkan pendengarannya dengan mengeksplorasikan dunia luar dirinya. Cara yang praktis dalam proses pembelajarannya adalah membaca dengan suara keras, menggunakan sesi tanya jawab, diskusi, kerja kelompok.
5. Teknik Kinestetik Internal adalah cara belajar dengan menyentuh rasa. Agar belajar efektif proses belajar dengan pemahaman terlebih dahulu, temukan faedah dari aktivitas siswa, gunakan alat Bantu atau dalam bentuk demo. Proses belajar seperti ini cenderung bergantung pada lingkungan.
6. Teknik Kinestetik Eksternal adalah proses belajar dengan mengoptimalkan emosi yaitu dengan beradabtasi terlebih dahulu dengan dunia luar dirinya. Proses belajar yang efektif yaitu dengan kemampuan panca indra, misalnya dengan menggunakan model, memainkan peran dengan membuat peta pikiran.
Berdasarkan teknik atau cara belajar yang bermacam-macam, maka guru dituntut merancang program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan talenta siswa. Guru diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya untuk bersikap mengajar dengan baik. Sikap mengajar tersebut antara lain bersikap demokratis, kreatif, dan inovatif.
C. Urgensi Personaliti Guru dalam Pembelajaran
Sebagai individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah Zainal Aqib (2002: 32). Tugas guru sebagai profesi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Oleh karena itu, guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itulah guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Padahal secara nasional nilai-nilai tersebut sudah dirumuskan, tetapi barangkali masih ada nilai tertentu yang belum terwadahi dan harus dikenal oleh guru, agar dapat melestarikannya, dan berniat untuk tidak berperilaku yang bertentangan dengan nilai tersebut. Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat dia menyikapi hal tersebut, sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik.
Maka dengan demikian, kemarahan guru terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka dan mungkin dalam bentuk memberikan hukuman fisik. Sebagian kemarahan bernilai negatif, dan sebagian lagi bernilai positif. Padahal kemarahan yang berlebihan seharusnya tidak ditampakkan, karena menunjukkan kelebihan emosi guru. Kadang-kadang kalau dilihat dari faktor penyebabnya, sering nampak bahwa kemarahan itu salah, karena ternyata hanya disebabkan oleh peserta didik yang tidak mampu memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan, padahal peserta didik tersebut telah belajar dengan sungguh-sungguh. Kematangan emosi guru akan berkembang sejalan dengan pengalaman bekerja, selama guru tersebut mau memanfaatkan pengalamannya. Jadi tidak sekedar jumlah umur atau masa kerjanya saja yang bertambah, melainkan juga bertambah kemampuannya dalam memecahkan masalah-masalah atas dasar pengalamannya pada masa yang lalu.
Husnizar (2007: xvii), mengatakan bahwa guru sebagai figur pendidik, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sangat diharapkan melalui perannya sebagai pembimbing atau pengarah peserta didik itu sendiri. Karena pada kenyataannya, guru di mata masyarakat merupakan panutan yang diteladani dan dihormati perannya. Apalagi guru merupakan figur sentral yang menjadi tolok ukuran bagi masyarakat untuk diambil keteladanannya.
Di dalam masyarakat, guru diamati dan dinilai oleh masyarakat, sedangkan di sekolah guru diamati oleh peserta didik, dan oleh teman seprofesi serta oleh atasannya. Dalam kesempatan tertentu sejumlah peserta didik membicarakan kebaikan gurunya, tetapi di dalam situasi yang lain peserta didik membicarakan kekurangannya. Maka ada baiknya jika guru sering minta pendapat teman seprofesi atau peserta didik tentang penampilannya sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas, dan segera memanfaatkan pendapat yang telah diterima dalam upaya merubah atau memperbaiki penampilan tertentu yang kurang layak dan tepat. Sementara itu guru menduduki posisi yang sangat menentukan dalam proses pendidikan. Kebutuhan anak didik akan ilmu pengetahuan telah menjadikan guru sebagai sosok yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian kehadiran seorang guru di kelas sebenarnya merupakan kebahagiaan bagi setiap murid.
Dalam kegiatan belajar mengajar telah terjadi interaksi yang bertujuan antara guru dan murid. Dalam hal ini guru ingin memberikan suatu layanan yang terbaik untuk anak didiknya dengan berbagai macam cara dan ini bukan suatu hal yang sangat mudah bagi seorang pendidik. Dalam mengatasi masalah ini guru pada umumnya telah menggunakan berbagai macam pendekatan untuk dapat tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Interaksi adalah hal yang saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi, antar hubungan, dan lain-lain. Oleh karena itu, interaksi yang terjadi antara guru dengan murid di sekolah sangatlah membutuhkan suatu pendekatan untuk lancarnya jalan interaksi tersebut. Dalam hal ini dikarenakan bahwa pendekatan merupakan salah satu jalan menyelesaikan berbagai macam problem yang terdapat pada siswa dalam proses belajar mengajar.
Dalam hal ini sebagaimana diketahui bahwa medan tugas para guru kian hari semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan cara pandang dan pola hidup masyarakat yang menghendaki pendekatan dan strategi dalam proses belajar mengajar yang berbeda-beda, di samping materi pengajaran itu sendiri.
Untuk menciptakan hal ini tentu memerlukan perjuangan yang gigih dari seorang guru. Menjadi guru karena tuntutan pekerjaan tentu merupakan pekerjaan yang mudah. Namun menjadi guru karena panggilan jiwa dan hati nurani tentu tidaklah mudah karena dituntut suatu pengabdian yang lebih besar daripada tuntutan pekerjaan dan materil. Guru yang melaksanakan tugasnya karena panggilan jiwa akan menjadi lebih dekat dengan anak didiknya dan dapat memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap pembentukan karakter dan perilaku.
Figur guru dengan gambaran inilah yang sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan. Penciptaan imej guru yang seperti ini sebenarnya merupakan suatu manifestasi personaliti seperti yang disebutkan oleh Roy Newton sebelumnya sebagai hal-hal yang dapat dilakukan. Seorang guru dengan sejumlah aktifitasnya yang dapat diterima oleh anak didiknya akan memberikan pengaruh yang efektif dalam proses perubahan prilaku anak.
Guru yang mulia adalah sosok guru yang rela hati menyisihkan waktu demi kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, memberi nasehat, membantu mengatasi kesulitan belajar, merasakan kedukaan, bersama-sama dengan anak didik pada waktu senggang, berbicara dan bersenda gurau di sekolah di luar jam efektif belajar, bukan sekedar duduk di kantor dengan dewan guru dan menciptakan jarak dengan anak didiknya.
Maka dengan demikian, kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna yang demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, asal dilakukan secara sadar. Dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Namun sebaliknya, bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan bahwa orang itu tidak mempunyai kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang tidak mulia.
Oleh karena itu, masalah kepribadian adalah suatu hal yang sangat menentukan terhadap tinggi rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan peserta didik atau masyarakat. Dengan kata lain, baik tidaknya citra seseorang sangat ditentukan oleh kepribadian. Lebih-lebih lagi bagi seorang guru, masalah kepribadian merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap keberhasilan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik. Ditambah lagi kepribadian dapat menentukan apakah guru menjadi pendidik dan pembina yang baik ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan peserta didik.
Ringkasnya, dalam pelaksanaan pendidikan seorang guru seharusnya memiliki personaliti (kepribadian) yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang tidak baik atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri. Karena itulah, kepribadian merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Penyatuan kata dan perbuatan sangat dituntut dari guru, bukan lain perkataan dengan perbuatan.
Guru berfungsi sebagai pembimbing untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian, guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan untuk mengembangkan, membina kepribadian, kemampuan dan keterampilan serta kecerdasan bangsa.
Apabila peranan guru dapat terlaksanakan dengan baik, hal ini akan dapat menciptakan siswa-siswi yang mampu hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga akan terdapat keserasian antara dunia pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Namun apabila peranan guru tersebut kurang dilaksanakan dengan baik, maka kemungkinan dunia pendidikan akan selalu berada di belakang.
D. Pembinaan Kreativitas Peserta Didik
Menurut Munandar (1987: 67), secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai: "Kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, menemukan suatu gagasan). Kreativitas berasal dari kata kreatif yang artinya bersifat menciptakan, menjadikan suatu perwujudan yang dapat dimanfaatkan atau dinikmati. Sementara itu, menurut John dalam Ibrahim Muhammad (2005: 21) mengatakan istilah kreativitas (kreativity) berasal dari kata latin, “create” yang artinya berbuat (to make) atau dari kata Yunani kreiniene yang artinya berhasil atau mewujudkan (fuil fiil). Sedangkan dalam Bahasa Arab, dalam lisan Al ’Arab, karya Ibnu Manzhur, ditegaskan bahwa arti Ibda adalah menciptakan tanpa contoh artinya menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai
Dalam pada itu Wahyudin (2007: 15), menambahkan, bahwa pembinaan kreativitas peserta didik adalah segala proses yang dilalui dalam rangka menciptakan, mempelajari, dan menemukan sesuatu yang baru serta berguna bagi kehidupan pribadi dan terhadap orang yang dibina (peserta didik didik). Menurut M. Y. Langeveld yang di setir oleh Ramly Maha (1969: 11), dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Guru” memberi pengertian peserta didik dengan “Animale Educandum and Animale Educabile, yaitu makhluk yang perlu didikan dan makhluk yang dapat di didik”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa pembinaan kreativitas peserta didik adalah proses penciptaan sesuatu yang baru terhadap seseorang yang belum berusia 18 tahun atau seseorang yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya setingkat demi setingkat
Ciri yang lebih serius pada orang berbakat adalah ciri seperti idealisme, kecenderungan untuk melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup, serta makna atau arti dari keberadaan mereka. Peserta didik kreatif lebih cepat menunjukkan perhatian pada masalah orang dewasa seperti politik, ekonomi, polusi, kriminalitas, dan masalah lain yang dapat mereka amati di dalam masyarakat, (Munandar 1999: 36).
Ada suatu kebiasaan bahwa peserta didik yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang sangat luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Di samping itu, mereka juga mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Ini sesuai dengan pendapat pakar mengenai ciri-ciri peserta didik kreatif yaitu:
1. Kepercayaan diri
2. Keuletan
3. Apresiasi estetik
4. Kemandirian
5. Kelancaran, kelenturan, dan
6. Orisinalitas dalam berfikir. (Munandar 1999: 11).
Di samping itu, masih dalam konteks yang sama bahwa lebih komplit lagi dari yang disebutkan di atas yaitu ada 10 ciri peserta didik kreatif yang di dapat dari kelompok pakar sebagai berikut:
1. Imajinatif
2. Mempunyai prakarsa
3. Mempunyai minat luas
4. Mandiri dalam berfikir
5. Melik (ingin memiliki)
6. Senang berpetualang
7. Penuh energi
8. Percaya diri
9. Bersedia mengambil resiko
10. Berani dalam pendirian dan keyakinan. (Munandar 1999: 36-37).
Kreativitas yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengaktualkan dirinya dalam pergaulan dan juga dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini yag diharapkan agar dengan adanya media pembelajaran atau dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK peserta didik dapat kreatif dan berkembang sesuai yang diinginkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri peserta didik yang mempunyai kreativitas tinggi adalah sebagai berikut:
1. Selalu ingin mengetahui sesuatu yang benar
2. Selalu ingin mengubah sesuatu yang telah ada
3. Mencoba hal-hal yang baru
4. Percaya diri
5. Berani dalam berpendapat.
Semua peserta didik mempunyai potensi untuk kreatif, walaupun tingkat kreativitasnya berbeda-beda. Akibatnya, kreativitas seperti halnya setiap potensi lain, perlu diberi kesempatan dan rangsangan oleh lingkungan untuk berkembang. Titik pandangan baru mengenai kreativitas mendorong diadakannya penelitian untuk menentukanapa saja kondisi lingkungan yang menguntungkan dan membekukan perkembangan kreativitas.
Kreativitas merupakan usaha mempertinggi atau mengoptimalkan kegiatan belajar siswa dalam proses pembelajaran. Pengaruh yang diberikan oleh guru dalam pendekatannya dengan siswa bisa saja lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh kesempatan untuk merangsang siswa dan kalau ingin menghambatnya lebih banyak dari orang tua siswa.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah Zainal Aqib (2002: 32). Tugas guru sebagai profesi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Oleh karena itu, guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itulah guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Padahal secara nasional nilai-nilai tersebut sudah dirumuskan, tetapi barangkali masih ada nilai tertentu yang belum terwadahi dan harus dikenal oleh guru, agar dapat melestarikannya, dan berniat untuk tidak berperilaku yang bertentangan dengan nilai tersebut. Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat dia menyikapi hal tersebut, sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik.
Maka dengan demikian, kemarahan guru terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka dan mungkin dalam bentuk memberikan hukuman fisik. Sebagian kemarahan bernilai negatif, dan sebagian lagi bernilai positif. Padahal kemarahan yang berlebihan seharusnya tidak ditampakkan, karena menunjukkan kelebihan emosi guru. Kadang-kadang kalau dilihat dari faktor penyebabnya, sering nampak bahwa kemarahan itu salah, karena ternyata hanya disebabkan oleh peserta didik yang tidak mampu memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan, padahal peserta didik tersebut telah belajar dengan sungguh-sungguh. Kematangan emosi guru akan berkembang sejalan dengan pengalaman bekerja, selama guru tersebut mau memanfaatkan pengalamannya. Jadi tidak sekedar jumlah umur atau masa kerjanya saja yang bertambah, melainkan juga bertambah kemampuannya dalam memecahkan masalah-masalah atas dasar pengalamannya pada masa yang lalu.
Husnizar (2007: xvii), mengatakan bahwa guru sebagai figur pendidik, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sangat diharapkan melalui perannya sebagai pembimbing atau pengarah peserta didik itu sendiri. Karena pada kenyataannya, guru di mata masyarakat merupakan panutan yang diteladani dan dihormati perannya. Apalagi guru merupakan figur sentral yang menjadi tolok ukuran bagi masyarakat untuk diambil keteladanannya.
Di dalam masyarakat, guru diamati dan dinilai oleh masyarakat, sedangkan di sekolah guru diamati oleh peserta didik, dan oleh teman seprofesi serta oleh atasannya. Dalam kesempatan tertentu sejumlah peserta didik membicarakan kebaikan gurunya, tetapi di dalam situasi yang lain peserta didik membicarakan kekurangannya. Maka ada baiknya jika guru sering minta pendapat teman seprofesi atau peserta didik tentang penampilannya sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas, dan segera memanfaatkan pendapat yang telah diterima dalam upaya merubah atau memperbaiki penampilan tertentu yang kurang layak dan tepat. Sementara itu guru menduduki posisi yang sangat menentukan dalam proses pendidikan. Kebutuhan anak didik akan ilmu pengetahuan telah menjadikan guru sebagai sosok yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian kehadiran seorang guru di kelas sebenarnya merupakan kebahagiaan bagi setiap murid.
Dalam kegiatan belajar mengajar telah terjadi interaksi yang bertujuan antara guru dan murid. Dalam hal ini guru ingin memberikan suatu layanan yang terbaik untuk anak didiknya dengan berbagai macam cara dan ini bukan suatu hal yang sangat mudah bagi seorang pendidik. Dalam mengatasi masalah ini guru pada umumnya telah menggunakan berbagai macam pendekatan untuk dapat tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk menciptakan hal ini tentu memerlukan perjuangan yang gigih dari seorang guru. Menjadi guru karena tuntutan pekerjaan tentu merupakan pekerjaan yang mudah. Namun menjadi guru karena panggilan jiwa dan hati nurani tentu tidaklah mudah karena dituntut suatu pengabdian yang lebih besar daripada tuntutan pekerjaan dan materil. Guru yang melaksanakan tugasnya karena panggilan jiwa akan menjadi lebih dekat dengan anak didiknya dan dapat memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap pembentukan karakter dan perilaku.
Figur guru dengan gambaran inilah yang sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan. Penciptaan imej guru yang seperti ini sebenarnya merupakan suatu manifestasi personaliti seperti yang disebutkan oleh Roy Newton sebelumnya sebagai hal-hal yang dapat dilakukan. Seorang guru dengan sejumlah aktifitasnya yang dapat diterima oleh anak didiknya akan memberikan pengaruh yang efektif dalam proses perubahan prilaku anak.
Guru yang mulia adalah sosok guru yang rela hati menyisihkan waktu demi kepentingan anak didik, membimbing, mendengarkan keluhan, memberi nasehat, membantu mengatasi kesulitan belajar, merasakan kedukaan, bersama-sama dengan anak didik pada waktu senggang, berbicara dan bersenda gurau di sekolah di luar jam efektif belajar, bukan sekedar duduk di kantor dengan dewan guru dan menciptakan jarak dengan anak didiknya.
Maka dengan demikian, kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna yang demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, asal dilakukan secara sadar. Dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Namun sebaliknya, bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan bahwa orang itu tidak mempunyai kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang tidak mulia.
Ringkasnya, dalam pelaksanaan pendidikan seorang guru seharusnya memiliki personaliti (kepribadian) yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang tidak baik atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri. Karena itulah, kepribadian merupakan masalah yang sangat sensitif sekali. Penyatuan kata dan perbuatan sangat dituntut dari guru, bukan lain perkataan dengan perbuatan.
Guru berfungsi sebagai pembimbing untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian, guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan untuk mengembangkan, membina kepribadian, kemampuan dan keterampilan serta kecerdasan bangsa.
Apabila peranan guru dapat terlaksanakan dengan baik, hal ini akan dapat menciptakan siswa-siswi yang mampu hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga akan terdapat keserasian antara dunia pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Namun apabila peranan guru tersebut kurang dilaksanakan dengan baik, maka kemungkinan dunia pendidikan akan selalu berada di belakang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian lebih mendalam terhadap peranan guru dalam pembelajaran di sekolah menengah atas pada khususnya, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saran yang konstruktif di akhir karya tulis ilmiah ini.
Guru merupakan faktor penting dalam pendidikan formal, karena itu harus memiliki perilaku atau personaliti guru yang baik dan kemampuan mengembangkan dirinya. Pengembangan itu melalui paradigma baru yaitu melakukan perubahan sikap dan peran sebagai guru yaitu berperan sebagai fasilitator, motivator, konselor, dan evaluator. Selain itu juga memiliki perubahan sikap, agar siswa aktif, mandiri, kritis dan kompetitif dalam pembelajaran.
Dalam upaya keberhasilan pembelajaran salah satu hal penting yang perlu diperhatikan guru adalah terhadap perencanaan pembelajaran dan pemilihan motede pembelajaran yang sesuai, maka diharapkan dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan efektif sesuai dengan fungsi pembelajaran pada lembaga pendidikan, juga terhadap materi pembelajarannya itu sendiri, sehingga dapat menumbuhkan kreativitas dari peserta didik dalam memahami pembelajaran.
B. Saran-Saran
Kepada guru-guru pelajaran baik pada madrasah maupun pada sekolah hendaknya dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara profesional dalam pembelajaran dan menampilkan personaliti positif kepada peserta didik dan juga mampu merancang program pembelajaran yang menyenangkan dengan menerapkan empat aspek ketrampilan secara terpadu. Karena guru harus memiliki kemampuan yang optimal untuk mengembangkan potensi siswa, maka untuk itu perlu pemantapan profesi guru melalui personaliti guru untuk mewujudkan sumber daya manusia unggul dan bermartabat, hal ini dapat dicapai melalui pelatihan-pelatihan guru atau pendidikan untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuannya. Upaya yang lainnya dalam meningkatkan kinerja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja profesional bagi profesinya guru, seperti halnya dengan mengikuti musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), seminar, workshop dan lain sebagainya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Gemawindu Panca Perkasa, 2000.
Abd. Rahman Abror, Psikologi Pendidikan, Cet.IV, Yogyakarta: Tara Wacana, 1993.
Agus Sujanto, dkk, Psikologi Kepribadian, cet. IX, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Anwar Masy`ari, Akhlah Al-Qur`an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
Bimo Walgito, Psikologi Sosial,Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001.
Daryanto S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apolo, t.th.
Hery Noer Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000.
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXV, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Kartini Kartono, Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep Sederhana Dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, Terj. Ahmad Subandi, Cet.II, Jakarta: Lentera, 1999.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Qur’an, Cet. I, Jakarta: Madani Press, 2001.
I.I. Pasaribu dan B. Simajuntak, Proses Belajar Mengajar, Ed.II, Bandung: Tarsito, 1983.
Mulyasa, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Roy Newton, How to Improve Your Personality: Bagaimana Mengembangkan Kepribadian Anda, Cet.I Milestone: t.p, 2005.
Sardiman A.M , Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Piet A.Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
W. S. Winkel SJ., Psikologi Pengajaran, cet. IV, Jakarta: Grafindo, 1996.
Zainal Aqib, Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran Surabaya: Cendekia, 2002.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar