Gerakan awal Baitul Mal Wattamwil (BMT) yang di Aceh dikenal dengan Baitul Qiradh (BQ) berangkat dari kegelisahan aktivis Islam terhadap kualitas umat Islam di Indonesia. Betapa tidak, umat mayoritas di negeri ini sebagian besar tidak taat dalam mengamalkan ajaran Islam dan tidak memiliki akses terhadap modal usaha dari perbankan. Umumnya kualitas sumber daya manusi umat Islam rendah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada sisi lain, umat Islam Indonesia belum dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik akibat praktek perbankan sistem ribawi.
Umat Islam Indonesia mendapatkan momentum dengan diresmikannya Bank Muamalat Indonesia, 1992, sebuah bank yang beroperasi dengan sistem syariah. Kekuasaan Soeharto pun (waktu itu) memberi dukungan penuh terhadap hadirnya bank yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini. Momentum ini pula menjadi pendorong tumbuhnya BMT sebagai lembaga keuangan umat yang memfasilitasi pemberdayaan ekonomi umat di lapisan bawah. Sebelumnya, BMT masih bersifat “informal”, yang dirintis sejak 1982 dengan nama Baituttamwil Teknosa di Bandung.
BMT memberdayakan umat dengan dua cara: pertama, meningkatkan pemahaman terhadap ajaran Islam. Umat diorganisir untuk mengikuti pengajian rutin yang dibimbing oleh ustaz/murabbi. Materi yang disajikan mencakup pengetahuan dasar keislaman, aqidah dan ibadah. Selanjutnya diperluas dengan pengetahuan tentang muamalah (sosial ekonomi dan kemasyarakatan). Kelompok diarahkan untuk mengaktualisasikan semangat solidaritas yang telah mulai tumbuh, maka diaktifkanlah kegiatan simpan pinjam. Tentu, kegiatan ini mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti mudharabah (bagi hasil), (jual beli) dan qardhul hasan (pinjaman kebajikan).
Merambah Aceh
Suatu hari, saya dan Drs Sayuthi Sulaiman sedang berada di Studio Radio Swasta Rhodisko Banda Aceh mendapat telepon dari M Nur A Birton (staf Pinbuk Pusat) di Jakarta. Dia mengatakan, dalam waktu dekat akan ada pelatihan pengelola BMT di Jakarta. Dia menyebut nama Ir HM Hamzah Hasan dan Prof Jamaluddin Ahmad sebagai kontak person yang dapat dihubungi di Aceh untuk mencari peluang bisa ikut menjadi peserta dari Aceh.
Lalu, kami berdua membuat proposal pendirian BMT di Banda Aceh dan menghubungi kedua kontak person dimaksud. Saya mengusulkan seorang teman yang sama-sama mengajar di TPA Aisyiyah, Nora Faulina, untuk dimasukkan dalam proposal sebagai calon pengelola, karena kami berdua berlatar-belakang pendidikan keguruan dan syariah, sementara Nora Faulina berpendidikan perbankan. “Kita akan dirikan miniatur bank Islam, maka perlu kawan yang tahu ilmu perbankan,” kaya saya, meyakinkan Sayuthi.
Saya, Sayuthi dan 30-an teman-teman se Aceh berkesempatan mengikuti Pelatihan dan Magang Pengelola BMT selama dua minggu (akhir Mei hingga awal Juni 1995) di Jakarta. Kegiatan ini difasilitasi oleh Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) dan Taman Iskandar Muda. Pinbuk adalah badan otonom di bawah ICMI yang dibentuk khusus untuk mengembangkan BMT di seluruh Indonesia. Saya dan 12 teman dari Banda Aceh dan Aceh Besar dibiayai oleh ICMI Aceh, sementara teman-teman lain dibantu oleh ICMI Kabupaten/Kota se Aceh.
Sepulangnya dari pelatihan dan magang, kami diberi kesempatan presentasi tentang BMT di hadapan Gubernur Aceh yang juga Ketua ICMI Aceh, Prof DR Syamsuddin Mahmud, di Anjong Mon Mata Banda Aceh. Hal menarik, malam itu kami sempat menyanyikan Mars BMT dihadapan para undangan yang hadir. Sebuah tekad pun lahir untuk menggerakkan pembentukan BMT di seluruh Aceh. Tak ada pengurus ICMI Aceh yang tidak memberi dukungan. Mereka yakin, inilah salah satu solusi pemberdayaan ekonomi rakyat Aceh.
Tentang pilihan nama BQ dan bukan BMT, rupanya mengacu kepada saran Tgk H Nasiruddin Daud dalam lokakarya Inshafuddin di Meulaboh. Ketika itu, para ulama menyatakan istilah qiradh sudah dikenal lama dalam kajian fikih di Aceh. Dengan menggunakan nama BQ diyakini akan memudahkan dalam proses sosialisasi di tengah-tengah masyarakat.
Masuk Baiturrahman
Tanpa sepengetahuan kami yang sedang ikut pelatihan dan magang, Pengurus ICMI Aceh telah merencanakan pendirian BMT di beberapa lokasi, terutama di masjid-masjid kecamatan. Saya dan Sayuthi yang semula satu tim dipencar oleh ICMI ke lokasi yang berbeda. Saya diminta mengorganisir pembentukan BQ di Masjid Raya Baiturrahman dan Sayuthi di Masjid Abu Indrapuri Aceh Besar. Padahal, semula dalam proposal kami rencanakan lokasinya di lantai dua Toko Buku Amanah Jalan Mohd Jam Banda Aceh. Informasi pembagian tugas itu kami ketahui pada hari-hari terakhir pelatihan dan magang.
Dari informasi itu, saya mereka-reka siapa yang paling cocok menjadi Ketua Pengurus BQB. Semula saya “mengantongi” nama H Imam Syuja’ sebagai orang yang paling tepat. Dia aktivis Islam, tokoh, sekaligus seorang pengusaha. Lalu, saya mendapat kabar bahwa Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman, Tgk H Soufyan Hamzah, pada awalnya kurang berkenan terhadap rencana ICMI membentuk BQB di Masjid Raya Baiturrahman. ICMI pun mengubah langkah taktis dengan menjadikan Soufyan Hamzah sebagai salah seorang yang dimandatkan oleh ICMI bersama Prof Abidin Hasyim MSc untuk membentuk BQ di masjid kebanggaan rakyat Aceh itu.
Saya pun berupaya “menyesuaikan” diri dengan langkah ICMI dengan cara mengusulkan nama calon Ketua Pengurus yang relatif bisa diterima oleh Soufyan Hamzah. Maka muncullah nama Ir H M Zardan Araby MBA, dosen Fakultas Teknik Sipil Unsyiah, Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh dan salah famili dekat Soufyan Hamzah. Zardan figur yang senangi Soufyan. “Saya melihat Zardan punya potensi menjadi intelektual muslim yang sukses, dia dosen, mau belajar agama dan sekaligus pengusaha,” katanya.
Selanjutnya, saya melakukan silaturrahmi dengan Soufyan Hamzah. Beliau mengarahkan supaya saya mengkoordinasikan segala sesuatu yang diperlukan dengan Sekretaris Masjid Raya Baiturrahman, Drs H Ridwan Johan. Berikutnya, saya, Ridwan Johan, Zardan Araby, dan Nora Faulina mempersiapkan acara rapat pembetukan BQB. Para aghnia kami undang untuk mengikuti rapat dan presentasi BQ sebagai miniatur bank Islam. Di atas kertas malam itu kerkumpul dana Rp 16 juta, Rp 10 juta di antaranya dari kas Masjid Raya Baiturrahman.
Rapat berhasil menyepakati formatur pembentukan BQB yang terdiri dari Hasballah (Camat Baiturrahman), Ramli HTA (Tokos Emas), Saiful (Rumah Makan Aceh Spesifik), Ridwan Johan (Masjid Raya Baiturrahman) dan Sayed Muhammad Husen (alumni pelatihan BMT). Selanjutnya kami menyusun komposisi Pengurus dan Pengelola BQB periode empat tahun pertama
Mulai Operasional
Pada 8 Juli 1995 Menristek Prof DR BJ Habibie meresmikan BQB bersamaan 49 BQ lainnya seluruh Aceh di Masjid Raya Baiturrahman. Habbie menyerahkan modal usaha Rp 1 juta tiap BQ. Peresmian itu bertepatan dengan berlangsungnya Muktamar Muhammadiyah Ke 43 di Banda Aceh. Dengan uang cash Rp 2 juta, kami memberanikan diri memulai operasi BQB pada 2 Oktober 1995. Bulan pertama operasinal kami hanya memasarkan produk simpanan, baru pada bulan kedua menyalurkan pembiayaan.
Masalah utama awal-awal operasional adalah bagaimana menerapkan ilmu “perbankan syariah mikro” yang telah didapat dari pelatihan dan magang. Saya harus mentransfer ilmu itu kepada staf, sebab baru saya sendiri yang telah pelatihan. Baru kemudian pada pertengahan 2006 Nora Faulina mengikuti pelatihan pengelola BQ yang diselenggarakan HMI Badko Aceh di Asrama Haji Banda Aceh.
Masalah lain, BQM belum memiliki tenaga dan sistem akuntansi. Untuk itu, Ketua Pinbuk Aceh, Prof DR Jamaluddin Ahmad, merekomendir Maulida Lailiana SE Ak menjadi salah seorang pengelola BQB. Lalu, Maulida magang di Koperasi Jasa Audit Banda Aceh. Koperasi ini juga membantu membuat sistem akuntanasi BQB.
Adupun produk Simpanan BQB yaitu: Simpanan Mudharabah, Simpanan Pendidikan, Simpanan Qurban, Simpanan Idul Fitri, Simpanan Walimah, dan Simpanan Haji. Produk Pembiayaan: Pembiayaan Murabahah, Pembiayan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Al-Ijarah. Hingga tahun 2000 asset BQB Rp 250 juta.
Dukungan utama terhadap keberadaan BQB dari jamaah Masjid Raya Baiturrahman. Karena lokasi yang strategis di pusat kota dan berdekatan dengan pusat pasar, sangat mudah bagi jamaah untuk menyimpan atau meminjam modal usaha. Dalam hal sosialiasi, kami peroleh dari Tabloid Gema Baiturrahman (media masjid) dan penceramah halaqah maghrib dan subuh di Masjid Raya Baiturrahman yang disiarkan langsung oleh Radio Baiturrahman. Para penceramah menyampaikan konsep-konsep ekonomi syariah dan anjuran menjadi nasabah/anggota BQB.
Dua tahu pertama operasional BQB, saya mengintensifkan silaturrahmi dan komunikasi dengan para tokoh, aktivis, mahasiswa, media, pengusaha, da’i, Ormas dan OKP Islam, anggota DPRA/DPRK, parpol, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan mendukungan terhadap keberadaan BQB. Hampir seluruh aktivis LDK (lembaga dakwah kampus) membuka rekening di BQB. Kami juga mendapat suntikan modal dari tiga BUMN: PT Taspen, Pertamina dan PLN, mencapai Rp 110 juta.
Pada 2001 BQB telah berbadan hukum koperasi syariah. Sebelumnya hanya mengandalkan izin operasional dari Pinbuk. Badan hukum ini kami urus karena dorongan dari tokoh ICMI yang menjadi Menteri Koprasi dan UKM, Adi Sasono. Tahun itu pula saya mengundurkan diri sebagai Manajer Utama dalam rapat besar periode pertama. Saya minta posisi sebagai “konsultan”, tapi akhirnya saya diberi amanah menjabat Wakil Sekretaris. Jabatan Manajer Utama diserakan kepada Nora Faulina Murdani.
Hinga menjelang tsunami 26 Desember 2004 BQB dapat membukukan asset Rp 350 juta. Pengelola empat orang: Nora Faulina SE (perbankan) jadi karyawan sejak 1995, Lailiana SE (akuntan) sejak 1996, Nur Fajri Fahmi SE (perbankan) sejak 1997 dan Dra Nurmi Hasan (syariah) sejak 1998. Simpanan anggota Rp 155 juta (1.316 orang), pembiayaan Rp 109 juta (350 orang).
Allah SWT menguji hamba-Nya dengan tsunami, akibatnya semua inventaris dan administrasi BQB tenggelam dan hancur. Uang di brankas Rp 10,5 juta dijarah. 60% nasabah pembiayaan hilang. Sementara asset yang selamat di rekening bank Rp 32,3 juta.
Bangkit PascaTsunami
Menurut Nora Fauilina, pada Januari 2005 pihaknya hanya dapat menjalin komunikasi telepon antara pengelola dan pengurus, sebab pada umumnya mereka mengungsi sampai ke Medan. Bulan Januari Masjid Raya Baiturrahman juga belum menyelenggarakan shalat Jumat. Baru pada minggu ketiga Januari, mulai ada komunikasi tentang upaya menghidupkan kembali BQB dengan PNM Medan dan Pinbuk Pusat.
Pada minggu kedua Pebruari 2005, PNM menghubungkan BQB dengan BAZNAS untuk ikut serta dalam program revitalisasi ekonomi Aceh pasca tsunami. Minggu terakhir Pebruari, BAZNAS menyatakan komitmen untuk menyertakan modal pada BQB Rp 605 juta.
Selanjutnya, Nora Faulina dari BQB bersama dua BQ lainnya dari Aceh mengikuti pelatihan dan magang BMT di Jakarta. Minggu pertama Maret 2005 dapat dilakukan renovasi kantor BQB atas fasilitasi BAZNAS. Pada 10 Maret 2005 BQB dapat beroperasi kembali secara normal dan 17 Maret 2004 Hj Mufida Jusuf Kalla meresmikan kembali BQB.
Menurut Ketua Pengurus BQB, M Zardan Araby, hal-hal yang mendukung kelancaran operasional kembali BQB, pertama, kerena semua pengurus dan pengelola masih ada (tidak hilang dalam tsunami). Tidak terjadi rush dan malah simpanan terus bertambah. Juga, karena keunggulan lokasi kantor yaitu di komplek masjid kebanggaan rakyat Aceh. “Masalah juga ada, masyarakat menganggap penyertaan dana BAZNAS sebagai hibah, sehingga menyulitkan kita dalam penagihan,” katanya.
Beberapa kegiatan kemitraan dalam upaya memperkuat kelembagaan BQB pasca tsunami, yaitu: menjadi salah satu pilot proyek microfinance BRR; ikut serta dalam Program Pembiayaan Produktif PKPS BBM Kementrian Koperasi 2005; adanya penyertaan modal kerja dan pembukaan tiga kantor cabang oleh ILO (International Labour Organitation); mendapatkan pinjaman tanpa bagi hasil dari ICED dan ARF (NGO lokal); penempatan deposito PT. BISMA dan membuka loket resmi pembayaran rekening listrik PLN Cabang Banda Aceh.
Selain itu, BQB menerima penempatan dana BRR Rp 3 milyar; PKPS BBM Rp 500 juta; ICED dan ARF Rp 250 juta; ILO Rp 545,9 juta dan deposito PT Bisma Rp 325 juta. “Untuk tahun 2009 kita memang tak bisa mengandalkan lagi dana murah dan hibah, kami harus proaktif mencari dana komersial,” kata Nora Faulina.
Sebagai upaya penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia BQB melakukan pelatihan dan pemegangan staf bekerja kerjasama dengan, antara lain, Juni 2006 ILO memfasilitasi empat orang karyawan magang pada Kospin Jasa Pekalongan selama satu bulan. Agustus 2006 Training Loan Officer dan Training Manajemen Kredit Bermasalah oleh MercyCorps. Pada Oktober 2006: Training Analisa Keuangan untuk Lembaga Keuangan Mikro oleh MercyCorps.
Selanjutnya pada Nopember 2006: BQB mengikuti Training Analisa Kredit untuk LKM oleh MercyCorps. Maret 2007: Training Penyelesaian Kredit Bermasalah oleh MercyCorps. Maret 2007 Pelatihan Calestial Manajemen oleh Bank Muamalat. Juli 2007: Workshop Gender dan Koperasi bagi seluruh karyawan BQB oleh ILO dan Oktober 2007 Workshop Bisplan BQB oleh ILO.
Dari data April 2008, BQB telah membukukan asset Rp 9,7 milyar dengan tenaga pengelola/karyawan 15 orang, pengurus 3 orang, pengawas 2 orang, simpanan nasabah/anggota Rp 3 milyar (2.719 orang), pembiayaan Rp 4,9 milyar (675 orang) dengan satu kantor pusat di Masjid Raya Baiturrahman dan tiga kantor cabang masing-masing cabang Meuraxa (diresmikan 2 Pebruari 2006), cabang Ulee Kareng (diresmikan 2 Juli 2006) dan cabang Jeulingke (diresmikan 28 Juli 2006). Laba tahun 2007 Rp 250 juta.
Semoga memasuki usia tahun ke 14 lembaga keuangan mikro syariah ini, dapat menghadapi tantangan yang lebih berat. Para pendiri, pengurus, pengawas, dan pengelola seharusnya tetap kreatif dalam merespon berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul, teruma dalam meningkatkan jumlah modal sendiri, memantapkan kelembagaan, penguatan SDM dan terus berupaya untuk menambah asset. “Kami juga ditantang untuk punya sektor ril dan gedung sendiri,” kata Ridwan Johan.
Pengurus Masjid Raya Baiturrahman sebagai “pemegang saham mayoritas” sepatutnya lebih konkret lagi memberi dukungan, misalnya, dengan menempatkan sebagian kas masjid di rekening BQB. Semoga semua kita ikut bangga karena masjid kebanggan rakyat Aceh telah memiliki satu lembaga keuangan syariah yang mapan. Percayalah BQB akan menjadi inspirasi bagi masjid lain di negeri ini.
Satu hal menjadi catatan penting bagi pengurus dan pengelola BQB supaya tidak melupakan visi awal BQ sebagai lembaga yang terpadu dalam peran sosial, dakwah, pemberdayaan ekonomi. Karena itu, antara kegiatan simpan pinjam, penggalangan ZIS (zakat, infak dan sedekah) dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya praktek ekonomi syariah haruslah dilakukan dengan seimbang. Celakah jika BQB dan BQ lainnya di Aceh hanya mencari keuntungan semata-mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar